Tuesday, October 16, 2007

Let’s Play DEAD!


“Darling stop confusing me.

With your wishful thinking,
hopeful embraces.

It's sometimes just like sleeping,
curling up inside my private tortures.
I nestle into pain,
hug suffering,
caress every ache.

I play dead.
It stops the hurting.” [Play Dead – Bjork (Volta)]





ada beberapa cara untuk MATI tanpa mengeluarkan darah.

bisa dengan meminum sebotol pil tidur pada malam hari, maka akan dipastikan keesokannya kita tidak akan pernah terbangun. bisa juga dengan menggantung diri di sebuah batang pohon yang kokoh; hanya dalam waktu beberapa detik saja, seonggok nyawa akan berubah menjadi sebuah nama di batu nisan. atau bisa juga dengan terjun bebas ke dalam sungai yang airnya sedingin es dan alirannya deras dari sebuah jembatan. kita tak akan pernah merasakan kedinginan atau sesak napas karena beberapa meter sebelum terjun ke dalam air, jantung kita telah hancur berkeping-keping terlebih dahulu.

cara yang terakhir tadi akhirnya dipilih oleh Peri Hutan untuk mengakhiri cenut-cenut di kepala dan pegal-linu yang dirasakan sekujur tubuhnya beberapa waktu belakangan ini. ia tak perlu membuat gempar seluruh penghuni hutan bunga matahari dengan kematiannya yang mendadak. apalagi merepotkan mereka untuk mengurus mayatnya nanti. biar saja tubuhnya membusuk di dalam air dan jadi makanan ikan. tak usah mengeluarkan biaya pemakaman atau kremasi. ia memang akan pergi dengan meninggalkan misteri besar dan membuat semua orang berspekulasi mengenai kepergiannya tersebut. tapi tak apa, bukankah itu salah satu cara untuk membuat orang terus mengenang dan mengingat dirinya?

Peri Hutan sudah berada di ujung jembatan kayu, yang terbentang di atas Sungai Mimisippi. sungai yang airnya sebeku es dan arusnya sangat deras. konon, kata banyak orang, tak ada yang bisa bertahan dari deras arus dan dinginnya air Sungai Mimisippi tersebut. ia tak gentar, walau bunyi kayu yang berderit-derit di belakangnya serasa menyayat-nyayat hati siapapun yang mendengarnya. tapi tak ada satupun hal yang dapat menciutkan nyalinya saat ini, tidak juga goyangan jembatan yang sejak tadi mengiringi irama derit kayu.

akhirnya Peri Hutan sampai juga di tengah-tengah Sungai Mimisippi. tepat di tengah-tengah, posisi yang sengaja ia pilih untuk menghindari kegentaran hatinya yang tiba-tiba ingin ngacir untuk membatalkan aksi nekatnya tersebut. sembari tangan kirinya memeluk separuh hatinya yang ada di dalam toples, tangan kanannya memegang tambang erat-erat guna mencapai sisi luar jembatan kayu. perlahan-lahan namun pasti, kini ia telah berada di luar sana. dengan kedua tangannya, ia melempar toples yang sejak tadi dipeluknya. satu…dua…tiga…empat…lima…enam…tujuh…, dan byuuuurr!!! toplesnya menghilang tertelan arus deras. “berarti aku hanya punya waktu tujuh detik sebelum semuanya berakhir,” pikirnya. lalu Peri Hutan melompat tanpa ragu sambil membentangkan tangannya.

pertama-tama, ia memang memejamkan matanya. tapi kemudian ia berpikir, “ah, sayang sekali kalau aku menutup mataku ketika bisa melihat pemandangan yang sebegitu indahnya sebelum tenggelam sampai dasar!” jadi ia membuka matanya sambil melayang-layang di udara. terbang bebas, persis seperti yang selalu diinginkannya. namun sayang, grativitas tak pernah menjadi kawannya. makin lama tubuhnya tertarik ke bawah. meluncur tanpa ampun, seperti seluruh ingatannya yang tiba-tiba berlintasan dengan sangat cepat.

ia bisa melihat dirinya berlari sambil menangis menuju hutan bunga matahari kembali seusai meninju perut buncit si Jagoan Perut Buncit di Neverland-nya; dirinya menghambur masuk pagi-pagi buta untuk membangunkan si Kurcaci Penabuh Genderang yang masih penuh belek, ke dalam batang pohon oak miliknya; dirinya beradu lompat di deretan daun teratai dengan si Kodok Cabul; dirinya makan selai blueberry dengan Beruang Madu Muka Datar sampai belepotan; dirinya berguling-guling di surga kue keju dan selai berrybiru dengan peri-peri bodoh dari negeri aneka ragam; dirinya tertawa-tawa sambil melompat-lompat riang di atas trampolin dengan Peri Topi Lebar dan Peri Tukang Nyengir; dirinya memakai topi rajut hijau dengan bordir burung hantu yang lucu bikinan Serpina Sipirili; dirinya dibopong oleh si Kades Bertubuh Kentang sewaktu jatuh dari ayunan reyotnya; dirinya didorong dengan kursi roda bikinan Asisten Kades Senyum Tiga Jari berkeliling-keliling hutang bunga matahari; dan dirinya duduk-duduk di padang ilalang menunggu sepotong senja yang lewat bersama si hati baru.

ia melihat seluruh rentetan peristiwa tersebut dengan jelas, yang membuatnya tersenyum dan bersyukur pernah hidup. “ah, ternyata hidupku lumayan juga…” dan lalu Peri Hutan merasakan jantungnya berhenti berdetak sebelum sempat merasakan dinginnya air Sungai Mimisippi.

Wednesday, September 26, 2007

Bintang Toedjoe sang Penyembuh


apa yang bisa melubangi perasaan melebihi bunga-bunga morning glory yang tiba-tiba layu dan berbau busuk? bunga-bunga ungu itu dulu merambat keluar dari mulut si hati baru. lebat. lembut merambati pucuk kepala Peri Hutan, pundak, sekeliling dada dan punggungnya, juga pergelangan tangan dan kaki. menambat di sana-sini, menemani hari-harinya dan si hati baru dalam sebuah labirin. namun mereka tak pernah membuatnya tercekat. kini, bunga-bunga itu mendadak menjadi layu, kecoklatan, dan mengeluarkan bau busuk. melubangi Peri Hutan tepat di tengah-tengah. keadaannya persis seperti sang Sundel Bolong yang legendaris itu.



belum sempat membersihkan tubuhnya yang kotor dirambati bunga busuk, Peri Hutan malahan melihat hati barunya mendekap sebentuk bintang yang sangat terang. sampai-sampai ia nyaris buta jika memandanginya. Peri Hutan hanya sanggup melihat sekelebat dengan mata memicing, sambil menahan kencing. agaknya itu bintang penyelamat penunjuk jalan yang kerap jatuh dari timur langit ketika seseorang tersesat. ia akan jatuh dengan sendirinya kepada orang yang meminta dan membutuhkannya.

rupa-rupanya si hati baru selama ini memintanya dengan kushyuk. celaka tiga belas buat mereka yang tak bisa lagi berharap pada sang mitos! si hati baru melangkah sambil mendekap bintang penyelamatnya. menuju dunia di luar labirin jahanam. mereka memang belum jauh dari pandangan, namun Peri Hutan memilih untuk tak mengejar mereka. ia berbalik, berharap menemukan bintang toedjoe. bukankah hanya harapan yang dapat menyembuhkan perasaan yang berlubang? ia mestinya bersyukur, setidaknya masih boleh punya harapan dari si bintang toedjoe itu. tentu saja, untuk menyembuhkan kepalanya yang kini terasa cenut-cenut.

Saturday, July 28, 2007

Memeluk Matahari Pagi di Sirkus Raksasa Borgetti




Peri Hutan berlarian kecil di atas permadani sirkus tanpa alas kaki. di sekelilingnya penghuni Sirkus Borgetti sedang sibuk berlatih, mempersiapkan atraksi mereka untuk acara akbar nanti malam. sesekali ia berjingkat-jingkat sambil bersiul atau bersenandung riang. hatinya terasa seringan langkah kakinya.

“Halo Peri Hutan! Apa kabar?” seru Badut Perut Bola sambil membetulkan hidung bola palsu berwarna merahnya.
“Baik, Badut Perut Bola!” balas Peri Hutan tersenyum manis sambil melambaikan tangannya pada badut yang terkenal dengan atraksi sepeda roda satunya itu.

Peri Hutan kembali berlarian kecil. sumringah sambil merentangkan kedua tangannya, mencoba memeluk matahari pagi, yang menyembul lewat sela-sela atap yang terbuat dari terpal.

“DWOOORRRR!!!!” teriak Kurcaci Semar Bogel tepat di telinga kanan Peri Hutan. kurcaci yang mirip tokoh wayang Semar ini memang bertubuh bogel. dan di Sirkus Borgetti, ia memang yang paling sering menjahili Peri Hutan.
“Kurcaci Semar Bogel!! Kau mengagetkanku saja!” keluh Peri Hutan sambil bersungut-sungut. jantungnya serasa mau copot. tapi Peri Hutan tak terlalu berlama-lama menenangkan diri. ia langsung berlarian kecil lagi, meninggalkan Kurcaci Semar Bogel yang tertawa terkekeh-kekeh dan menyusuri setiap sudut Sirkus Borgetti yang raksasa.

“Ehehe, Peri Hutan… Manis sekali dirimu pagi ini, ehehe…” gumam Kurcaci Mata Jereng sambil tersipu-sipu malu. ia lalu menyodorkan sekuntum bunga edelweiss kuning yang baru dipetiknya ke depan batang hidung Peri Hutan, sambil membetulkan kacamatanya dengan gugup.
“Waaaawwww, bunga edelweiss kuning! Terima kasih Kurcaci Mata Jereng, aku suka sekali!” seru Peri Hutan sambil berjinjit mengecup pipi kiri Kurcaci Mata Jereng.
Peri Hutan kemudian melanjutkan lari-lari kecilnya di sepanjang permadani warna-warni dengan corak Timur Tengah, sambil bersiul-siul lagu “Close To You” milik The Carpenters. meninggalkan Kurcaci Mata Jereng yang bersemu merah.
“Peri Hutan!” tiba-tiba terdengar suara Kurcaci Hijau memanggilnya dari belakang.
“Ya?” Peri Hutan menoleh dengan mata berbinar-binar, girang Kurcaci Hijau favoritnya memanggil.
tiba-tiba di depan wajahnya sudah ada tiga permen bulat warna-warni yang sebesar kepalanya.
“Ini untukmu, Peri Hutan…” seru Kurcaci Hijau.
“Huaaaaa….. Sebanyak ini???” tanya Peri Hutan megap-megap seperti kehabisan napas.
“Jika kau bisa menghabiskan ketiga permen ini dalam waktu tiga jam saja,” ujar Kurcaci Hijau sambil mengedipkan matanya.
“Bisa…bisaaa!!!!” ujar Peri Hutan, merentangkan tangannya untuk menyambut tiga permen bulat besar yang masih berada di genggaman Kurcaci Hijau yang bertubuh tinggi dan tegap. matanya ia pasang sebesar-besarnya, biar terlihat meyakinkan di depan si Kurcaci Hijau. padahal semua orang juga sudah tahu, kemampuannya yang tadi sudah maksimal.
“Hmmm… Ah untukmu dua saja deh!” goda si Kurcaci Hijau sambil menyembunyikan satu permen bulat warna-warni itu di balik punggungnya.
Peri Hutan kecewa sambil merajuk. melihat hal tersebut, kejahilan Kurcaci Hijau makin menjadi-jadi.
“Atau satu saja, ah! Hehehe…” katanya sambil buru-buru menghilang dari hadapan Peri Hutan. takut disambit oleh si peri sipit.
Peri Hutan tak berlama-lama kecewa. ia cukup puas dengan sebuah permen bulat besar warna-warni yang kini berada di genggaman kanannya. berpadu dengan bunga edelweiss kuning di tangan kirinya. hatinya semakin penuh.
“Halo Bibi Mollymimi! Selamat pagi!!!” seru Peri Hutan pada perempuan yang bertugas mengantarkan kostum para pemain sirkus ke binatu. ia memang tidak terlalu mengenal perempuan itu. tapi hari yang cerah ini rasanya belum lengkap kalau ia tidak menyapa semua orang yang ia jumpai.
“Selamat pagi! Aduh, kamu lucu sekali… Siapa namamu?” tanya Mollymimi yang segera menghentikan pekerjaannya karena disapa oleh Peri Hutan.
“Aku Peri Hutan, Bibi Mollymimi…” jawab Peri Hutan sambil tersenyum.
“Ah ya, ya… Peri Hutan. Selamat bersenang-senang, Peri Hutan yang manis. Dah…” ujar Mollymimi sambil melambaikan tangannya. melihat Peri Hutan, ia jadi teringat pada anak gadisnya yang sudah meninggal. hal ini membuatnya tanpa sadar menitikkan air mata, yang diam-diam ia hapus dengan ujung lengan bajunya.
Peri Hutan melanjutkan berlarian kecil di atas permadani sirkus tanpa alas kaki. masih dengan bunga edelweiss di tangan kiri dan permen bulat besar warna-warni di tangan kanan. hari ini ia mencintai semua yang ditemuinya, sebagaimana dirinya dicintai oleh Alam Semesta.



“You’ll be given love

You’ll be taken care of

You’ll be given love

You have to trust it

Maybe not from the sources

You’ve poured yours into

Maybe not from the directions

You are staring at
Twist your head around

It’s all around you

All is full of love

All around you

All is full of love...”

[All is Full of Love – Björk (Vespertine)]

Monday, June 25, 2007

Tantangan untuk Kembalinya Separuh Hati di Dalam Toples



belakangan mendung selalu menghiasi raut wajah si Peri Hutan yang manis. terkadang hidup ini bisa terasa sangat panjang dan membosankan ketika yang kita kerjakan hanya membunuh waktu setiap saat.

seperti sekarang, Peri Hutan sebenarnya tak mengerti apa yang membuat ia berjongkok di halaman depan rumah pohonnya, mencungkili tanah. yang ia tahu, ia melakukannya untuk menanam bibit bunga matahari yang barusan diberikan oleh si Serpina Sipirili. hanya supaya bibit itu tak sia-sia dan jadi berjamur disimpan di udara yang lembap akibat hujan terus-menerus di siang hari. untuk apa, ia tak terlalu mau tahu dan peduli.

Peri Hutan yang sedang asyik sendiri dengan sekop, cungkilan tanah, dan bibit bunga mataharinya terkejut bukan kepalang tatkala mendongak dan melihat toples berisi separuh hatinya, yang dulu ia titipkan pada Madame Lovètti, tersodor persis di depan batang hidungnya. sambil masih tetap berjongkok, ia memiringkan kepalanya ke kiri untuk melihat siapa yang membawa pulang separuh hatinya itu. persis seperti yang ia harapkan. dan Peri Hutan tersenyum lebar sambil memicingkan matanya, berusaha melawan sinar matahari yang beradu penampakan dengan penyelamat hatinya itu. puas dan penuh hatinya hari ini.

menit berikutnya ia sudah berada di padang ilalang bersama hati barunya. berbaring menikmati angin semilir, seperti sedia kala, dengan dirinya mendekap separuh hatinya di dadanya.

“Peri Hutan, lain waktu kupinjam kembali separuh hatimu, yah...” pinta si hati baru yang juga berbaring tepat di sebelah Peri Hutan. dalam hitungan detik, ia takkan menyangka kali ini Peri Hutan yang akan menyodorkan permainan padanya. menggantikan permainan layang-layang, gasing berputar, petak-umpet, dan tebak-tebakan yang dulu biasa mereka mainkan.

“Tidak bisa. Tidak semudah itu kau bisa mendapatkan separuh hatiku kembali. Kalau kau memang benar-benar menginginkannya, apa yang akan kau lakukan untukku?” tanya Peri Hutan dengan senyum licik, dihiasi oleh mata bulatnya yang berbinar-binar seperti kanak-kanak. gembira dan bersemangat karena permainan baru yang menarik.

“Aku... takkan mengganggu kehidupanmu selama setahun,” jawab si hati baru sambil tersenyum dan menatap Peri Hutan tajam. permainan yang menarik selalu memacu jantungnya berdegup lebih kencang. dan kali ini tantangannya jauh lebih menarik daripada apapun yang ada di dunia, termasuk kehidupan itu sendiri.

“Baiklah. Aku akan menunggumu di padang ilalang ini tepat satu tahun dari sekarang. Pada saat itu akan kupinjamkan lagi separuh hatiku padamu,” balas Peri Hutan seraya menatap si hati barunya itu lekat-lekat. puas dengan jawaban si hati baru.

“Sampai jumpa, Peri Hutan! Aku pasti akan kembali mengambil separuh hatimu. Tunggu saja...” seru si hati baru bergairah sambil beranjak pergi, meninggalkan Peri Hutan yang masih berbaring mendekap separuh hatinya di dalam toples, sambil tersenyum dengan mata terpejam. menikmati sinar matahari yang berpadu dengan semilir angin. sekaligus meresapi kehadiran hati barunya yang datang membawakan toples berisi separuh hatinya, untuk kemudian pergi lagi dengan tak lupa meninggalkan segudang harapan buat masa depan.

“He offers a handshake. Crooked, five fingers. They form a pattern. Yet to be matched
On the surface simplicity. Swirling black lilies totally ripe. But the darkest pit in me.
It's pagan poetry. Pagan poetry
Morsecoding signals. They pulsate and wake me up from my hibernate
....
I love him, I love him
....
This time I'm gonna keep me to myself. This time I'm gonna keep my all to myself
(She loves him, she loves him)
And he makes me want to hand myself over”
[Pagan PoetryBjörk (Vespertine)]

Friday, June 15, 2007

Stand By Me...



Made a meal and threw it up on Sunday
I’ve got a lot of things to learn.
Said I would and I'll be leaving one day
before my heart starts to burn

Peri Hutan kedatangan hati barunya di hutan bunga matahari. hati barunya yang telah lama menghilang, kini muncul di depan pintu rumah pohonnya di saat subuh, di mana orang-orang masih meringkuk di balik selimut dan ngelindur, dan embun pagi masih menempel lekat di daun, sama halnya dengan belek dan iler yang masih lekat menempel di mata dan bantal. dan Peri Hutan mengucek-ngucek matanya, tak percaya akan kunjungan tiba-tiba ini.

So what's the matter with you?
Sing me something new...don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away


semua perasaannya bercampur aduk, berbaur jadi satu. Peri Hutan sampai tak tahu lagi bagian mana yang lebih besar daripada yang lainnya. rasanya ingin sekali mendamprat, "kenapa baru datang sekarang??!!!" atau "tak pedulikah kau waktu itu aku nyaris mati tersungkur dari ayunan reyotku???!!!" tapi saat ini perasaan hatinya sudah tak karuan, jadi ia tak mau tambah merusaknya dengan berbuat hal-hal yang bodoh. maka alih-alih mendamprat si hati baru, ia hanya berkata datar, "tunggu sebentar, kuambil dulu jaketku."

Times are hard when things have got no meaning i've
I’ve found a key upon the floor
Maybe you and I will not believe in
the thing we find behind the door

Peri Hutan dan hati barunya berjalan menyusuri jalan setapak dalam gelap dan diam. sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Peri Hutan sibuk menerka-nerka maksud kedatangan si hati baru dan mengenang-ngenang keadaan di masa lalu yang terasa jauh lebih baik dibandingkan sekarang. sedangkan si hati baru entah sibuk memikirkan apa. mungkin sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya untuk menaklukkan dunia. atau bagaimana caranya menjadi seorang superhero, menggantikan Superman.

Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows
Yeah, nobody knows the way it's gonna be

tak berapa lama, mereka sampai di padang ilalang, tempat di mana mereka dulu biasa menghabiskan sore dengan duduk-duduk dan menonton sepotong senja yang lewat. hanya saja kali ini tanpa kambing-kambing ceking yang menemani. "Peri Hutan, apa perbedaan jenggot dan janggut?" tanya si hati baru.

If you're leaving will you take me with you?
I'm tired of talking on my phone
There is one thing I can never give you
My heart will never be your home

cukup sudah. permainan macam apa lagi yang akan ia dan hati barunya itu mainkan? Peri Hutan sudah capek meladeni permainan layang-layang, gasing berputar, petak-umpet, dan tebak-tebakan yang disodorkan oleh si hati baru. harus berapa karung keegoisan dan gengsi lagi yang ia dan hati barunya beli untuk memporak-porandakan semua yang selama ini mereka pikir mereka miliki?

So what's the matter with you?
Sing me something new...don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away


jika semuanya memang selalu datang dan pergi buat Peri Hutan, mengapa bukan ia saja yang pergi kali ini? toh sepertinya pengorbanan bukan jalan yang ia dan hati barunya pilih untuk saat ini.

Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows
Yeah, nobody knows the way it's gonna be
The way it's gonna be, yeah
Baby I can see, yeah

dan Peri Hutan berlari menyusuri jalan setapak yang gelap dan dingin, meninggalkan hati barunya yang masih menunggu jawaban apa bedanya jenggot dan janggut dari Peri Hutan di padang ilalang, sebelum malam benar-benar turun menyingkap air matanya yang berderai.


[*] Stand By Me – Oasis (Be Here Now)

***

Aku tak pernah ingin menyerah
Tapi masihkah berarti kalau kalah?

Waktu menyiram tubuh
Darah pun menjadi putih

Aku tahu saat untuk pasrah
meski jauh di dalam tanah,
kulambai dirimu dengan pedih

(Kulambai Dirimu, 14 Januari 1996 oleh Seno Gumira Ajidarma)

Tuesday, June 05, 2007

Permen Rasa Jeruk dan Kurcaci Tukang Sulap






kita semua yang hidup di dunia ini pasti menunggu sesuatu. entah itu menunggu bus untuk pulang, menunggu warisan, menunggu sembako, menunggu jodoh yang tepat, atau menunggu kematian. dan terkadang perkara menunggu ini bisa membuat kepala yang tidak gatal jadi terasa gatal karena tidak keramas sebulan. seperti kata Einsten tentang teori relativitas. ia bilang, “kalau kita menunggu dekat kompor, 5 menit saja rasanya seperti 5 jam. Tapi kalau dekat pacar 5 jam rasanya kayak 5 menit saja...”

lama kelamaan Peri Hutan jadi linglung. tak tahu lagi apa yang ditunggunya atau dicarinya. busyet! bisa berabe urusannya kalau dibiarkan. hidup tak ada artinya lagi ketika kita hanya membunuh waktu di dalamnya tanpa tahu tujuan, dengan cara-cara yang ala kadarnya pula.

ada yang bilang hidup adalah sebuah pilihan; di dalam hidup ini kita tak terhindarkan dari urusan pilih-memilih yang memusingkan kepala. tidak salah jika lantas ada yang berteori : penentu segala yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah si empunya hidup itu sendiri, tak ada sangkut pautnya dengan sang Alam Semesta. ada lagi yang teguh pada keyakinan bahwa takdir itu memang sudah digariskan. kita tak bisa berbuat apa-apa selain menjadi aktor, pelakon drama kehidupan yang sudah tertoreh di dalam skenario karena toh pilihan-pilihan yang telah kita buat itu rupa-rupanya juga sudah terdapat di dalam naskah. lalu ada juga yang coba-coba menjadi penengah : si empunya hidup boleh saja berencana atau berusaha (dan memang harus seperti itu; bukannya bertopang dagu menunggu durian runtuh dari langit) tapi penentu segalanya tetap saja sang Alam Semesta.

***

seperti tamu yang tak diundang, ingatan tentang si Kurcaci Tukang Sulap lagi-lagi meluncur deras tanpa permisi. bukannya tanpa sebab tiba-tiba si kurcaci, yang memang pekerjaan sehari-harinya sebagai tukang sulap itu bisa muncul di benak Peri Hutan.

pasalnya, kemarin sore Peri Hutan berjanji dengan sahabat lamanya, Peri Dagu Runcing, untuk bertemu di perbatasan hutan bunga matahari dan hutan pinus, yang sekarang jadi tempat tinggal sahabat lamanya itu. memang sejak kepindahan Peri Dagu Runcing ke hutan sebelah, Peri Hutan jadi jarang sekali bertemu dengan peri yang suka tertawa terkekeh-kekeh ini. selama setahun pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari, karena mereka sudah memiliki kehidupan dan masalahnya sendiri masing-masing. makanya, pertemuan langka semacam ini tak disia-siakan oleh keduanya.

tak ada yang istimewa dari pertemuan itu, sampai si Kurcaci Tukang Sulap tiba-tiba muncul untuk menjemput Peri Dagu Runcing, satu-satunya adik yang ia miliki. ah, seharusnya Peri Hutan tahu sampai kapanpun ia takkan bisa menghindar dari tukang sulap yang agaknya sayang benar pada adiknya itu. pokoknya di mana ada Peri Dagu Runcing sudah dapat dipastikan ada Kurcaci Tukang Sulap yang menemani.

Peri Hutan masih ingat lelucon-lelucon bodoh si Kurcaci Tukang Sulap yang sering ia lontarkan dan kepiawaiannya dalam bermain sulap yang selalu membuatnya tercengang. ia juga masih ingat benar kejadian di stasiun Kaktus yang mengubah segalanya di antara mereka. kejadian di mana banyak sekali janji pertemuan dengan si Kurcaci Tukang Sulap yang ia abaikan. dan ketika akhirnya janji pertemuan di stasiun Kaktus untuk pergi berpetualang bersama itu ia penuhi, ia malahan menghilang dalam kereta yang sama tanpa pernah turun dari gerbong. ia bahkan tak bisa lupa bagaimana ia bersembunyi dan mengintip di balik gorden kaca gerbongnya, meninggalkan Kurcaci Tukang Sulap yang kebingungan menunggu tanpa kabar darinya sambil menggendong ransel. meski kejadian itu sudah sangat lama terjadi.

alasannya hanya ketakutan yang mengada-ada. takut ia tersesat dan tidak menemukan jalan pulang. takut tak tahu apa yang harus diobrolkan dan perjalanan yang panjang itu jadi terasa membosankan. takut ditipu seperti TKW di negeri tetangga karena bodoh dan tak tahu apa-apa jika dibandingkan dengan Kurcaci Tukang Sulap yang nampaknya sudah banyak makan asam garam. ironis memang jika dirunut dari awal. di balik sikap gagah beraninya, Peri Hutan cuma peri yang payah yang selalu lari dari apapun sambil menggendong ranselnya yang berisi buntalan ketakutan.

apa jadinya jika waktu itu Peri Hutan memilih turun dari keretanya? dari Peri Dagu Runcing ia tahu bahwa Kurcaci Tukang Sulap tak pernah terlibat janji pertemuan lagi dengan siapapun sejak kejadian di stasiun Kaktus itu. lalu apa yang membuat si Kurcaci Tukang Sulap masih setia di dalam penantiannya sampai sekarang? apa yang sebenarnya selama ini Peri Hutan butuhkan? mengapa ia selalu memilih menunggu untuk sesuatu yang tak pernah pasti padahal tawaran-tawaran di depan batang hidungnya lalu lalang? dan banyak kata tanya apa dan mengapa lainnya yang akan terlontar jika kalimat ini dilanjutkan.

mungkin akan lebih mudah jika Peri Hutan memiliki keyakinan bahwa ia mungkin saja ditakdirkan untuk sebatang kara sepanjang hidupnya. jadi yang ia perlukan hanyalah kebesaran hati untuk menerima takdirnya itu, tanpa perlu merasa was-was atau dihantui perasaan bersalah dan penyesalan.


***


“Kembang gula sugus rasa jeruk untuk Peri Hutan yang manis!” seru Kurcaci Tukang Sulap sambil tersenyum simpul dan menyodorkan sebungkus permen sugus rasa jeruk, yang disulapnya keluar dari belakang telinga kanan Peri Hutan. hanya satu hal ini yang tidak pernah berubah dari Kurcaci Tukang Sulap, bahkan semenjak hari di mana Peri Hutan meninggalkannya sendirian di stasiun Kaktus; ia selalu menghadiahkan permen rasa jeruk buat Peri Hutan dengan trik sulapnya.

“Waw! Kembang gula rasa jeruk!!!” pekik Peri Hutan girang. matanya yang bulat berbinar-binar bagai kanak-kanak di dunia fantasi. walau sudah berkali-kali si Kurcaci Tukang Sulap melakukan trik itu, Peri Hutan seakan-akan tak pernah bosan dibuatnya dan selalu terkagum-kagum dengan tipuan sulap semacam itu.



***


entah harus berapa pertemuan tak disengaja lagi yang harus Peri Hutan dan Kurcaci Tukang Sulap lewatkan, tanpa terjebak di dalam kebisuan panjang yang menyiksa sehabis sulap permen rasa jeruk...

Thursday, May 24, 2007

Gula Guli Gulali Favorit



"Got my fever down, then weighed it up,
and I know the sounds remaining won't strain all the silt from my eyes
Bleach the green from the pastures, feast on the grey
Of the night, straight from the vines refusal to shine

You're my favourite thing - the one that I love
You're the one so I'd die for your love

I'll open my heart won't fall apart
Don't fall apart
You're my favourite thing
And I feel like letting go"
[*]


alih-alih makan rumput, Peri Hutan malah berkawan dengan jin botol! belum sembuh benar dari kakinya yang nyaris lumpuh permanen, kini dirinya tertatih-tatih dan terseok pulang dari rumah si Peri Tukang Nyengir yang letaknya tak terlalu jauh dari rumah pohonnya. tapi jarak yang hanya selemparan kancut itu terasa seperti ribuan mil.

***

alasannya sebenarnya sepele. gulali yang manis dan warna-warni adalah favoritnya sepanjang masa. tapi Peri Hutan malam itu ketakutan setengah mati tak dapat lagi mencicipi gula-gula harum manis itu sepanjang hidupnya. takut sudah dibeli orang, takut terlambat membelinya dan ternyata tokonya sudah tutup atau lebih sialnya lagi bangkrut, dan untuk melengkapi segala kelemahan dan ketololan dari makhluk ciptaan Alam Semesta: takut mencicipi jika gulalinya sudah dibeli, karena khawatir gulalinya habis diemut kerakusannya. karena ketika impian sudah ada di genggaman, siapa yang akan menjamin janji-janji kampanye bakal dipenuhi?
***

dari kejauhan yang remang-remang, Peri Tukang Nyengir hanya bisa khawatir berpesan sambil tetap nyengar-nyengir, "Hati-hati kau Peri Hutan yang berpendar, jangan sampai meracau di tepi jalan!"

[*] My Favourite Thing -- Silverchair (Diorama)

Monday, May 21, 2007

Before The Dawn Heals Us (*)

194/365: Before the dawn heals us

Before the dawn heals us,
let the night fog embrace
and freeze us to death…


Through the wind we crawl
It blows the candle
and throws us to the dark of disease
Let the spirits fade away
between the tombs of angels and purple light
that blinds the defeaned moon…

I’ll wait ‘til the sun kisses and sings the magical spell
to turn you out into a golden boy with harp in the left hand
And when the day comes, I will stop hiding behind this tired moonlight
to hold you again in sunrise…

It seems like we’ll never sleep at all
But it’s okay because we just wanna be alone,
we don’t wanna be lonely…



(*) This poem’s title (“Before The Dawn Heals Us”) is taken from The Radio Dept.’s album title (2003).



[21.05.07]
06.39 P.M

Tuesday, May 01, 2007


Perumpamaan Seekor Burung dan Sangkar dengan Pintu Berkarat



“Seorang pengecut tidak mampu menunjukkan cintanya. Cinta merupakan hak istimewa bagi orang pemberani.” – Mahatma Gandhi



Jatuh cinta mungkin tak jauh berbeda dengan naik ayunan. Awalnya ketika kita takut untuk berayun, rasanya sama sekali tidak mengasyikan. Lalu ketika kita mulai terbiasa dengan ayunannya, kita terpacu untuk berayun lebih kencang lagi untuk merasakan debaran dan desiran angin yang menerpa wajah kita. Setelah itu ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kita akan merasa takut jatuh karena ayunan yang semakin kencang lalu memutuskan untuk memegang talinya erat-erat. Yang mana akan membuat tangan kita lecet-lecet sekaligus menyakiti si tali tanpa kita sadari. Selanjutnya persis seperti menggenggam pasir; semakin erat genggaman kita, semakin sedikit pasir yang tertinggal di telapak tangan. Kedua, kita bisa saja mengambil risiko untuk mengayun lebih dashyat sampai perut serasa tergelitik, dengan melepaskan kedua tangan kita. Namun seperti kata pepatah yang kita semua pasti sudah mahfum, “tak ada yang gratis di dunia ini”, ada harga mahal yang harus dibayar. Jatuh terlempar dari ayunan adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Yang bisa kita lakukan mungkin hanya memperlambatnya. Ketiga, bisa jadi ayunan tersebut tak cocok dengan kita karena tiba-tiba menimbulkan rasa mual. Sehingga akhirnya kita menghentikan laju ayunan sebelum sempat merasakan sensasi apapun.



***



jika kau mendapat kesempatan untuk terlahir kembali ke dunia ini, apa atau siapa yang akan kau pilih?



menjadi pohon dengan akar yang kuat dan kokoh sepertinya menyenangkan. terasa menyatu dengan bumi. atau menjadi air sungai yang mengalir. hidup takkan terasa membosankan karena kita bisa terus berpindah-pindah tempat dan berubah wujud sesuka hati.



tapi bagi Peri Hutan, mungkin tak ada pilihan yang mengalahkan seekor burung di dalam sangkar yang terbuka. pohon bisa jadi kokoh, namun selalu melekat di tempat. sedangkan air sungai terus berkelana, tak pernah tinggal.



dengan menjadi burung di dalam sangkar yang terbuka, Peri Hutan dapat bebas berkelana di siang hari ke manapun ia suka dan pulang untuk tidur di sangkarnya yang nyaman ketika hari sudah malam.



mungkin Peri Hutan tak perlu menunggu sampai ia terlahir kembali. hati barunya telah memberikannya sayap persis seperti yang ia inginkan, membuatnya merasa seperti malaikat betulan. sesosok malaikat autis yang lucu dan menyenangkan buat teman-temannya di hutan bunga matahari.



namun permasalahannya adalah ketika Peri Hutan ingin pulang ke sangkarnya yang nyaman, pintu besinya berkarat dan tak mau terbuka. Peri Hutan bisa saja pergi, terbang kembali untuk mencari sangkar lain yang pintunya terbuka dan bermalam atau menetap. tapi Peri Hutan tidak mau. ia memilih membuka pintu besi yang berkarat dan macet itu. walau semua beranggapan ia peri yang bodoh. dan sayapnya terkoyak oleh tajamnya besi yang berkarat. namun apa gunanya bisa terbang ke manapun ia mau, jika sangkar tempat peristirahatannya tak mau terbuka?




“Once in a house on a hill
A boy got angry
He broke into my heart

For a day and a night
I stayed beside him
Until I had no hope

So I came down the hill
Of course I was hurt
But then I started to think

It shouldn't hurt me to be free
It's what I really need
To pull myself together
But if it's so good being free
Would you mind telling me
Why I don't know what to do with myself?

There's a bar by the dock
Where I found myself
Drinking with this man
He offered me a cigarette
And I accepted
'Cause it's been a very long time
As it burned 'till the end
I thought of the boy
No one could ever forget

It shouldn't hurt me to be free
It's what I really need
To pull myself together
But if it's so good being free
Would you mind telling me
Why I don't know what to do with myself?”



[Emiliana Torrini – To Be Free (Love in The Time of Science)]

Tuesday, April 24, 2007

Peri di Balik Jendela





akhir-akhir ini Peri Hutan jauh lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian. terlebih setelah ia jatuh dari ayunan reyotnya, yang melumpuhkan kaki kanan dan membuat kepalanya terkadang diserang rasa sakit dashyat, terutama ketika ia berpikir terlalu keras.

waktu-waktu di mana ia sendirian itu digunakannya untuk duduk di tepi jendela sambil memutar piringan hitamnya. terkadang ia memandangi anak-anak kecil yang asyik bermain bola atau sepeda di depan pekarangannya. yang terkadang membuatnya iri, karena ketidakmampuan fisik yang saat ini dideritanya. kadang muncul ketakutan, bagaimana jika ia benar-benar tak bisa lagi berjalan selama sisa umurnya dan merepotkan seisi hutan bunga matahari? ia takkan bisa lagi ke mana-mana dan terjebak di hutan bunga matahari selamanya! bagaimana ia akan menampakkan wajahnya dengan penuh kebanggaan dan kepala tegak di depan penghuni hutan bunga matahari, jika Peri Hutan yang selama ini mereka kenal ternyata hanyalah seorang peri yang payah dengan mental tempe karena tidak berhasil mengatasi keterbatasan fisiknya?

buru-buru disingkirkannya seluruh pikiran buruk tadi. ia mau sembuh. ia mau bisa berjalan lagi, walaupun setelah itu ia tidak tahu mau berbuat apa. seluruh angan-angan masa depannya telah hancur berkeping-keping, bersamaan dengan kepalanya yang bocor dan kaki kanannya yang remuk setelah terhempas dari ayunan reyotnya beberapa waktu yang lalu.

Peri Hutan masih duduk di tepi jendela. kali ini tak ada anak-anak yang bermain bola atau sepeda, karena di luar hujan turun sangat deras. piringan hitamnya memainkan lagu "Let It Die" dari Feist dan Peri Hutan termangu memandangi butiran air yang menempel di kaca jendelanya. pandangannya buram. entah karena hujan terlalu deras, kacanya yang berembun, atau matanya yang berair.

"Let it die and get out of my mind
We don't see eye to eye
Or hear ear to ear
Don't you wish that we could forget that kiss
And see this for what it is
That we're not in love
The saddest part of a broken heart
Isn't the ending so much as the start
It was hard to tell just how I felt
To not recognize myself
I started to fade away
And after all it won't take long to fall in love
Now I know what I don't want
I learned that with you
The saddest part of a broken heart
Isn't the ending so much as the start
The tragedy starts from the very first spark
Losing your mind for the sake of your heart
The saddest part of a broken heart
Isn't the ending so much as the start…" [*]

Peri Hutan memang tidak tahu apa yang akan dilakukannya beberapa waktu ke depan. tapi ia tahu apa yang tidak diinginkannya; ia tak mau menjadi tua dan mati seorang diri di dalam rumah pohonnya yang nyaman dan hangat. hal itu terlalu menyedihkan jika dibayangkan, sekuat apapun dirinya melakukan banyak hal sendirian selama ini.

mungkin Peri Hutan akan menunggu saja hati barunya pulang ke rumah dengan dua kemungkinan; mengajaknya bermain ayunan kembali dan memandang sepotong senja yang lewat bersama dan Peri Hutan takkan banyak bertanya dari mana saja hati barunya karena hal itu sama sekali tak penting lagi buatnya, yang terpenting hati barunya ada di sebelahnya. atau mendatanginya untuk pamitan. mengucapkan selamat tinggal dan kali ini untuk selamanya. mungkin saat itu akan jadi saat yang paling menyedihkan buat Peri Hutan, seperti kedua kakinya diamputasi sekaligus dan tak ada harapan lagi untuk dapat berjalan di atas kaki yang normal. tapi setidaknya hal itu cukup melegakan. ia bisa mengumpulkan kembali tenaganya selama beberapa tahun untuk memulai kehidupan baru yang sama sekali tak pernah terbayang olehnya saat ini.

mungkin juga Peri Hutan akan melatih kakinya jauh lebih giat daripada Ade Rai pergi ke gym untuk memperbesar otot-ototnya, supaya ia bisa berjalan kembali dengan normal. lalu setelah itu, ia akan mencari hati barunya dan menyelesaikan segalanya. siapa yang tahu, mungkin saja saat ini hati barunya juga terluka dan tak dapat bergerak kemana-mana. lagipula mendiang kakeknya selalu mengajarkannya untuk menyelesaikan segala hal yang dimulainya dengan peribahasa kuno, "datang tampak muka, pulang tampak punggung."

persis seperti nama buku yang merupakan kumpulan surat R.A Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang" dan kenyataan bahwa di hampir setiap sehabis hujan ada pelangi, mungkin keadaan ini memang tidak terlalu buruk untuk diratapi. bisa saja ini adalah hari yang baik bagi Peri Hutan untuk mengecat ulang rumah pohonnya. dan sepertinya ini sudah saatnya untuk keluar rumah dan menggunakan gerobak mini canggih buatan si Asisten Kades Senyum Tiga Jari.

[*] Feist – Let It Die (Let It Die)

Monday, April 23, 2007

Di Kala Jam Besuk Sudah Berakhir

"Peri Hutan?"
"Demi celana kotak-kotakku… Syukurlah, ia sudah sadar…"
"Horeee… Peri Hutan sudah sadar!!!"


Peri Hutan mengerjap-kerjapkan bola matanya. samar. tapi ia masih bisa menghitung… ada satu, dua, tiga, ah… ada enam makhluk di sekelilingnya, sedang tersenyum padanya. eh, bukan… bukan enam, melainkan tujuh! tadi ia tak melihat ada si Kodok Cabul yang bertengger di atas topi lebar si Peri Topi Lebar.

"Halo Peri Hutan, selamat datang kembali ke dunia nyata!", sambut Peri Topi Lebar dengan senyum lebar, selebar topinya. di atasnya, Kodok Cabul melompat-lompat dengan riang.

lalu ada Kepala Desa Bertubuh Kentang dan asistennya, si Asisten Kades Senyum Tiga Jari (disebut begitu karena senyumnya sangat lebar, sehingga ketika ia sedang tersenyum tiga jari dapat masuk ke mulut saking lebarnya) sedang tersenyum lebar padanya.

Peri Hutan mengedarkan pandangannya. ada Peri Tukang Nyengir sedang nyengir padanya. "Bagaimana rasanya koma selama tiga hari, sobat?", tanyanya sambil masih nyengir.

"Aduh, kepalaku…", rintih Peri Hutan sambil berusaha bangun.

"E…eh, jangan bangun dulu Peri Hutan… Kata Tabib Jenggot Putih kau belum boleh banyak bergerak.", cegah Serpina Sipirili.

"Kami sangat panik sewaktu melihatmu jatuh tersungkur dengan kepala berdarah-darah di dekat ayunan reyotmu. Lalu aku dan asistenku langsung membawamu ke Tabib Jenggot Putih. Untung saja tidak terlambat, karena kau kehilangan banyak darah malam itu.", Kades Bertubuh Kentang menjelaskan kejadian malam naas itu pada Peri Hutan.

"Ah ya… Pantas saja, sewaktu setengah sadar itu aku sepertinya melihat sosok kalian…", Peri Hutan berusaha mengingat-ingat.

"Ya… Tabib Jenggot Putih sudah menjahit kepalamu yang bocor. Dan…ngg…kaki kananmu…", tambah Asisten Kades Senyum Tiga Jari, kali ini tanpa senyum tiga jarinya.

"Kaki kananku? Kenapa dengan kaki kananku?", tanya Peri Hutan dengan wajah pucat pasi. ia langsung menyingkap selimut yang menutupi kakinya dengan gusar. ada luka sayatan sepanjang enam sentimeter di dekat lutut kanannya.

"Kaki kananmu remuk, Peri Hutan…", kata Kurcaci Penabuh Genderang, yang sejak tadi berdiri di belakang Serpina Sipirili, hati-hati. "Tapi jangan khawatir, Tabib Jenggot Putih bilang kakimu akan segera pulih dan kau bisa berjalan lagi seperti dulu. Asal…kau giat berlatih," lanjut Kurcaci Penabuh Genderang.

Peri Hutan masih memandangi kaki kanannya yang tak bisa digerakkan. Badannya bergetar.

"…"

"Tapi jangan khawatir Peri Hutan, aku sudah membuatkanmu gerobak mini yang bisa mengantarkanmu ke manapun kau mau!!", ucap Asisten Kades Senyum Tiga Jari dengan penuh antusias. "Kau bahkan bisa mengendarainya sendiri… Lihat! Ada setirnya, dan kau tinggal menginjak ini kalau kau mau berhenti. Ini adalah pedal rem. Aku lho yang membuatnya!", si Asisten Kades menjelaskan dengan semangat ’45, berusaha mengalihkan perhatian Peri Hutan dari kaki kanannya yang lumpuh.

"Aku membuatkanmu topi rajutan untuk menutupi kepalamu yang… ehm, agak pitak, Peri Hutan…", Serpina Sipirili mengeluarkan sebuah topi rajut dari tas rotannya. lucu juga. topi rajut warna hijau muda dengan bordiran burung hantu berwarna emas di sisi kanannya.

"Aku lho yang membuat bordiran burung hantunya!", pekik Peri Topi Lebar semangat. "Aku dan Serpina Sipirili beranggapan bahwa topi jaring-jaring lebarmu terlalu keras untuk kau pakai. Kami takut topimu itu melukai kepalamu. Jadi sampai kondisi kepalamu membaik, lebih baik kau memakai topi rajut saja, karena bahannya jauh lebih lembut.", Peri Topi Lebar menjelaskan panjang-lebar disertai dengan anggukan kepala Serpina Sipirili yang juga penuh semangat. Peri Topi Lebar memang sangat berbakat untuk menjadi juru bicara. pada pemilihan Kepala Desa selanjutnya, Peri Hutan ingin sekali mencalonkan Peri Topi Lebar menjadi juru bicara Kades. atau manajer kampanye. atau apalah… pokoknya berkaitan yang dengan angkat bicara.

"Dan… aku membawakanmu piringan-pringan hitam ini, Peri Hutan… Semua lagu-lagu Feist yang ada di rumah Serpina Sipirili sudah kuangkut semua ke sini. Aku pikir kau pasti suka mendengarkan lagu-lagu baru, ketika ehm… kau ingin sendirian saja di kamarmu.", kata Kurcaci Penabuh Genderang sambil tersenyum manis pada sahabatnya.

"Ah, ya… ya… Aku akan sangat senang sekali. Terima kasih ya semuanya… Kalian sangat baik padaku…", kata Peri Hutan dengan suara lemah. ia tersenyum sambil memandangi sahabatnya di hutan bunga matahari satu per satu. "Tapi aku sedang ingin sendirian saja hari ini. Maaf ya…", ucap Peri Hutan terbata-bata.

"Tidak apa-apa, Peri Hutan… Kami mengerti kalau kau butuh waktu sendirian. Kapanpun kau butuh kami, hubungi saja… Kami sudah tak sabar untuk main-main lagi denganmu!", kata Kodok Cabul bijaksana. suatu hal yang cukup langka melihat Kodok Cabul mengucapkan sesuatu yang dewasa tanpa cengangas-cengenges.

"Oh iya, biar aku saja yah yang merawat Tigger… Aku takut kau belum bisa merawatnya saat ini…", Peri Tukang Nyengir memecah keheningan.

"Terima kasih, Peri Tukang Nyengir… Kau baik sekali. Dan oh, Kurci… Celana kotak-kotak barumu oke.", ujar Peri Hutan sambil mengedipkan matanya.

"Demi celana kotak-kotakku… Aku tahu hanya kau dan Serpina Sipirili yang akan beranggapan celana baruku ini oke.", kata Kurcaci Penabuh Genderang dengan perasaan bangga, diiringi oleh gumaman tak jelas dari yang lainnya.

segera satu per satu dari mereka pamit pada Peri Hutan. mulai dari Peri Tukang Nyengir dan Tigger yang berada dalam gendongannya, Peri Topi Lebar dan Kodok Cabul yang masih bertengger di atas topinya, Kurcaci Penabuh Genderang dan Serpina Sipirili, lalu Asisten Kades Senyum Tiga Jari.

hanya si Kades Bertubuh Kentang yang masih belum beranjak. ia memandang mata Peri Hutan dalam-dalam; sesuatu yang biasa dilakukannya ketika akan menasihati penghuni hutan bunga matahari yang disayanginya.

Peri Hutan hanya bisa tersenyum lemah. "Jaga dirimu baik-baik Peri Hutan, nanti ada yang sedih kalau kau sakit…", ucap Kades Bertubuh Kentang sambil mengusap lembut kepala Peri Hutan. Peri Hutan segera memeluknya dan menangis. tangisan bisu yang hanya dimengerti oleh dirinya, Kades Bertubuh Kentang, dan Alam Semesta.

Saturday, April 21, 2007

Teenage Hope of an Old-Fashioned Romance

Wake me up when you’re home,
you’ll be the first thing I see...


I’ll wear your jacket that day and put my straw in your fermented tea
It tastes just like sweetened beer, as always...
And you’ll eat my chocolate toast
as you read your worn out books,
while the rain is heavily pouring down outside


Then promise me I’ll be the last thing you ever needed,
just before you sail away
Over again...

Friday, April 20, 2007

Ayunan Reyot Berdarah

andai saja mudah mengatakan "aku sayang kamu", semudah kita mengumpat (maaf) "anjing!", "bangsat!", "keparat!", "taik!", "ngentot!" di depan batang hidung orang yang mengesalkan, mungkin tidur akan jauh lebih nyenyak dan takkan ada kosa kata ‘penyesalan’ di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.

dan andaikan hati barunya datang barang sejenak menengok Peri Hutan di hutan bunga matahari yang sedang jatuh tersungkur dari ayunan reyotnya, mungkin ia takkan terlalu merasakan rasa sakit dashyat di kepalanya yang bocor dan berdarah-darah.

cukup dengan membisikkan kata-kata semacam, "aku takkan meninggalkanmu", maka Peri Hutan akan mati bahagia.

tapi tak ada yang datang. dan Peri Hutan harus bertahan hidup, jika tak mau mati sendirian dengan mengenaskan; jatuh dari ayunan reyot di depan rumah pohonnya karena berayun terlalu kencang.

andai saja luka di kepalanya bisa disembuhkan hanya dengan ditempel plester. sayangnya, luka yang dialaminya bukan sekadar lecet-lecet. lukanya dalam dan butuh kira-kira enam atau tujuh jahitan. mana bisa orang yang kepalanya bocor menjahit kepalanya seorang diri???

mungkin akan lebih mudah jika Peri Hutan pingsan atau hilang ingatan. sialnya, ia mengingat seluruh kejadian secara rinci. mulai dari angin berdesir di belakang telinga yang meniup rambut ikalnya yang tergerai, jantungnya yang berdegup kencang ketika ia mengayun semakin tinggi, perasaan ringan melambung tinggi, dan sedetik kemudian terhempas dari ketinggian maksimal yang bisa dicapai oleh ayunan reyotnya.

Peri Hutan merasa bagai seonggok daging tanpa tulang. kerangka tubuhnya serasa remuk redam rata dengan tanah. dan bahkan tak ada air mata yang tersisa untuk meratapi malam itu. hanya rasa sakit menjadi-jadi yang terasa seperti dua puluh paku ditancapkan sekaligus di kepalanya secara perlahan.

mungkin sebentar lagi Peri Hutan jadi gila. tapi sepertinya itu jauh lebih baik. orang gila bisa memiliki dunianya sendiri, tanpa khawatir tak satupun bisa mengerti. daripada menjadi orang normal dan terus berharap ada yang bisa memasuki dunianya.


namun tak ada penyesalan sedikitpun yang tersirat. Peri Hutan sudah tahu risiko yang akan ditanggungnya ketika pertama kali berayun. ia tahu akan jatuh dan kepalanya bocor. lagipula jatuh dari ayunan yang berayun perlahan dan jatuh dari ayunan yang berayun sangat kencang sama-sama terasa sakit. jika Peri Hutan harus jatuh, memang sebaiknya ia jatuh dari tempat yang paling tinggi.


In a manner of speaking
I just want to say
That I could never forget the way
You told me everything
By saying nothing
In a manner of speaking
I don't understand
How love in silence becomes reprimand
But the way that i feel about you
is beyond words
Oh give me the words
Give me the words
That tell me nothing
Give me the words
That tell me everything
In a manner of speaking
Semantics won't do
In this life that we live we only make do
And the way that we feel
Might have to be sacrificed
So in a manner of speaking
I just want to say
That just like you I should find a way
To tell you everything
By saying nothing.
(Nouvelle Vague -- In a Manner of Speaking)

Wednesday, April 18, 2007

Babak-babak di dalam Asbak

Senin dan Selasa berlalu tanpa pesan,
bersanding dengan puntung-puntung pengganti kesan...
Mereka berserakan dalam asbak
tercerai-berai dalam babak-babak,
bersama asap yang berbaur dengan keringat
seperti bau parfum ibu yang menyengat...

***

Lalu sekali lagi api dinyalakan,
biar nafas asap meresap dalam paru-paru
dan menyaru jadi wajahmu di udara...

(09.55 A.M)

Friday, April 06, 2007

Peri Hutan Main Ayunan

Today was a pretty day
No disappointments
No expectations on your whereabouts
And oh, did I let you go?
Did it finally show that strange things will happen if you let them?

Today I didn't even try to hide
I'll stay here and never push things to the side
You can't reach me cause I'm way beyond you today

Today I didn't even try to hide
I'll stay here and never push things to the side
Today I didn't even look to find
Something to put me in that peace of mind
You can't touch me cause I'm way beyond you today” [*]


Peri Hutan membumbung tinggi di angkasa. dengan mata terpejam dan senyum tersungging. walau ia sudah punya ayunan baru yang lebih bagus dengan jok yang empuk dan tenda di atasnya bikinan Kurcaci Penabuh Genderang, Peri Hutan tetap lebih suka berayun di atas ayunan reyotnya.

ketika main ayunan dulu, tangan Peri Hutan selalu memeluk hati barunya dengan erat. membuatnya selalu takut jatuh dan tidak bebas berayun. kini setelah membebaskan si hati baru dan belenggu di hatinya, rasa-rasanya jari-jari mungil Peri Hutan bisa menggapai apapun yang ada di atas kepalanya dengan mudah. bagai memiliki seisi dunia. ini bahkan jauh lebih menyenangkan daripada mendapat dua gelar sekaligus dan lulus dengan predikat cum laude. atau berhasil membetulkan ban mobil yang pecah di jalan tol sendirian dan membuat puding roti paling enak sedunia dalam kurun waktu kurang dari 24 jam! serasa damai, utuh, dan komplit.

angin malam yang dingin menerpa wajahnya, tapi Peri Hutan tak peduli. ia sama sekali belum berniat untuk masuk ke dalam rumah pohonnya dan beristirahat. biar saja besok masuk angin atau pusing-pusing, toh hari ini tak terjadi setiap hari. tak selalu pula ayunan reyotnya kuat menopang berat badannya. maka tak ada harapan sedikitpun untuk terus berayun dengan mulus. karena Peri Hutan sadar suatu saat ayunan reyotnya akan putus dan ia akan jatuh berdebam ke lantai, setelah mengayun sangat tinggi. jadi sebelum ia jatuh, luka-luka dan kepalanya bocor, ia ingin meresapi setiap inci ayunannya yang mendebarkan.

[*] Strange Things Will Happen – The Radio Dept. (Lessser Matters)

Tuesday, March 27, 2007

Jangan Makan Rumput Lagi!

mengakui ketidakmampuan diri terkadang bisa sangat menenangkan. mungkin awalnya memang mengecewakan mengakui pada orang lain bahwa diri kita tak sekuat kelihatannya. terlebih lagi pada diri sendiri, mengatakan bahwa kita tak bisa menjadi seperti yang kita angankan. namun sepertinya ini satu-satunya jalan membuat diri terbebas dari belenggu-belenggu yang menghimpit dan menyesakkan. bisa dikatakan di saat inilah kita sangat dekat dengan penyerahan diri untuk pelepasan yang seutuhnya.

ini bukan saat yang patut dibanggakan bagi Peri Hutan. kalau bisa, mungkin ia memilih lenyap ditelan bumi. biar Kurcaci Penabuh Genderang, dan orang-orang lain yang disayanginya tidak melihatnya terus mengulangi kebodohan yang sama : terkapar di padang ilalang, nyaris muntah-muntah karena kebanyakan menelan rumput yang pahit.

tapi ia sulit meninggalkannya, karena saat-saat seperti ini adalah saat yang paling hidup buat Peri Hutan. momen di mana ia bersentuhan dengan jiwanya dan merasa sangat damai. mungkin manusia memang butuh merasakan kepedihan untuk dapat mengecap kebahagiaan. dan berada di ambang kematian untuk menghargai kehidupan.

lagu Farewell/ Goodbye dari band M83 yang terus mengalun tak henti bagai kaset rusak melalui radio kecilnya masih setia menemani Peri Hutan yang tersungkur mencium tanah. tak kuasa untuk sekadar duduk manis menyender di batang pohon apel yang ada di belakangnya, apalagi untuk pulang dan berbaring di rumah pohonnya. Peri Hutan merasa begitu tolol. berulang kali kabur dari hutan bunga matahari, merepotkan banyak orang, dan bolak-balik makan rumput padahal ia sudah tahu rasanya pahit dan bisa saja mati kalau terlalu banyak memakannya.

semoga saja kali ini Peri Hutan kapok. ia harus menyadari suatu hal yang sangat penting, bahwa tak selamanya ia punya kesempatan untuk kembali menjadi nasi, ketika semua sudah melebur menjadi bubur.

kiss on the mouth/ bliss of a touch/ hand in a hand/ killing the fiend/ i'll write my love on more than a thousand weeping willows/ a walk on your voice/ so far, so close/ a whispering child/ so cold, so mild/ all the colors mixed up in falls of rainbows/ tears on your neck/ holding you near/ sparkling shells/ three comet tails/ hoping for some magic to make your heart beat next to mine/ shiny island/ blue underground/ my everyday/ is fading away/ i'm flying through the wind/ and whistling some strange melody/ hang on to me/ getting out of my corpse/ please don't leave me/ watching you from the clouds/ melancholy/ you'll join me soon my love/ feeling frozen/ i'll warm you everynight/ falling asleep/ i'll travel in your dreams
[M83 -- Farewell/ Goodbye]

Sunday, March 18, 2007

Suatu Malam di Pesta Dusta

There is one thing I know,
it goes like this
It's that when I'm down and out it's you I miss” – Sondre Lerche (You Know So Well)

dan jika sudah seperti itu maka keramaian hanya akan menjadi kesepian. serta hingar bingar tersulap jadi sunyi senyap.

rasanya baru beberapa jam yang lalu ia diajak oleh Peri Bibir Bengkak (eh, apa Bibir Merah? namanya saja ia sudah lupa) ke pesta yang diadakan di rumahnya. Peri Hutan hanya kebetulan lewat. dan karena kebetulan juga si Peri Bibir –entah Bengkak atau Merah- ini adalah teman lama si Peri Topi Lebar, maka ia disuruh bergabung.

pestanya meriah. dekorasinya mewah, lengkap dengan makanan yang melimpah dan orang-orang berpakaian serba ‘wah’. menyenangkan sekali berada di sini. penuh dengan orang-orang yang tertawa dan menyapa ramah.

tapi itu hanya beberapa menit pertama. selanjutnya terasa seperti neraka. Peri Hutan memang tak terlalu menikmati pesta yang ramai dan penuh dengan orang-orang yang tak dikenalnya. membuat sesak napas dan ketakutan, persis seperti semut di tengah kawanan gajah. ia merasa sangat kecil, tak terlihat, dan sewaktu-waktu bisa terinjak. dan kali ini perasaannya jauh lebih parah daripada seekor semut yang terkepung di kandang gajah.

untungnya ada tukang gulali. ia jongkok saja di sebelah tukang gulali sambil mengemut gulali berbentuk kuda-kudaan, bunga tulip, dot bayi, dan peluit-peluitan sampai eneg dan giginya ngilu-ngilu. tapi tak apalah. jarang-jarang ia makan gulali yang ada bentuknya. biasanya ia hanya menemukan gulali yang berbentuk kapas di pasar malam.

“Hei, Peri Hutan!!!”, tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang. keras juga, Peri Hutan nyaris keselek gulali berbentuk peluit yang sedang diemutnya.

“Uhuuuk, uhuuk… Siapa sih? Eh, Peri Kue Bulan???”, Peri Hutan terheran-heran melihat Peri Kue Bulan, yang wajahnya seperti kue bulan. bundar dan manis.

“Hehehe, halo Peri Hutan! Apa kabar?”, tanya Peri Kue Bulan dengan ramah. menyenangkan sekali bertemu dengan orang yang dikenalnya di pesta itu. walaupun Peri Hutan belum terlalu lama mengenalnya; Peri Kue Bulan merupakan penghuni baru di hutan bunga matahari; tapi setidaknya ia tahu senyuman tadi tulus dan bukan sekadar basa-basi.

Peri Hutan tak menjawab. sebagai gantinya ia hanya memberikan Peri Kue Bulan senyuman termanis yang pernah diberikan kepada orang-orang yang disukainya. lagipula siapapun tahu pertanyaan “apa kabar?” biasanya adalah pertanyaan retoris. tak perlu ditanyakan, karena biasanya dijawab dengan baik. persis seperti kita menanyakan, “hari ini cuacanya cerah ya?”, karena pasti akan dijawab “iya”. tapi terkadang kita perlu pertanyaan retoris, untuk membuka percakapan dengan mulus.

“Kok kau ada di sini, Peri Kue Bulan?”, tanya Peri Hutan.

“Oh, aku hanya menemani saudaraku… Kebetulan aku sedang main-main ke rumahnya, lalu diajak ke pesta ini.”, jawab Peri Kue Bulan. “Kau masih dalam perjalananmu melanglang buana, Peri Hutan?”, tanyanya balik.

“Ehm, ini sedang dalam perjalanan pulang…”, jawab Peri Hutan sambil membersihkan tenggorokannya dari lendir yang mengganggu.

“Baguslah. Sepi sekali hutan bunga matahari tanpa dirimu, Peri Hutan.”, kata Peri Kue Bulan membuat hati Peri Hutan terasa ringan. terkadang ia suka mendengar cerita atau kata-kata menyenangkan walaupun itu bohong.

“Benar. Aku tidak bohong, kok!”, sergah Peri Kue Bulan. “Kurcaci Penabuh Genderang sekarang jarang sekali menabuh genderangnya. Serpina Sipirili juga uring-uringan karena kangen padamu. Si Peri Topi Lebar dan Peri Tukang Nyengir juga tak sering lagi main bersama seperti biasa. Mereka sekarang sibuk dengan urusan masing-masing. Lalu si Beruang Madu Muka Datar juga baru-baru ini datang berkunjung ke rumahmu. Ia sedih ketika tahu kau pergi entah ke mana dan tak tentu kapan kembali lagi.”, Peri Kue Bulan menjelaskan panjang lebar, seolah bisa membaca pikiran Peri Hutan. Peri Hutan jadi salah tingkah dan tak enak sendiri.

“Eh, oh… Begitu yah?”, Peri Hutan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Oh iya, apa kabar hati baru-mu?”

DEG!

pertanyaan Peri Kue Bulan tadi membuat jantung Peri Hutan serasa berhenti berdetak. ini lebih parah daripada tersedak bola bekel.

“Ngg, kudengar sekarang dia sedang bersama Peri Rambut Pelangi...”, jawab Peri Hutan. hati barunya itu memang sahabat lama si Peri Kue Bulan. mereka berteman baik sejak Peri Kue Bulan belum pindah ke hutan bunga matahari.

“Hahaha, dasar gebleg! Dia itu benar-benar seperti benang kusut! Dia selalu butuh orang lain untuk mengurai kekusutannya.”, kata Peri Kue Bulan yang sudah sangat memaklumi sifat kawan lamanya itu.

Peri Hutan mengangguk-angguk tanda setuju dengan semangat dan mata membelalak. senang ada seseorang yang bisa menemukan ungkapan yang tepat, yang selama ini ia cari.

“Tapi sekusut-kusut benangnya, aku yakin, suatu saat dia akan menjadi kemeja pesta terbaik. Karena benang miliknya adalah benang sutera. Dasar memang beruntung, selalu saja ada orang yang mau bersusah payah merajutnya menjadi kemeja pesta itu. Padahal mereka sadar betapa kusut benang yang dimilikinya.”, lanjut Peri Kue Bulan sambil tersenyum manis. entah mengapa, apa yang barusan diucapkan oleh Peri Kue Bulan terdengar seperti promosi sabun cuci piring “beli 2, gratis 1 piring cantik”. tapi Peri Hutan tahu Peri Kue Bulan tidak melakukannya dengan sengaja.

kepercayaan Peri Hutan terhadap mimpi-mimpinya dan banyak hal lain sudah nyaris habis sebenarnya. tapi kali ini ia masih mau percaya. dan perkataan Peri Kue Bulan tadi membuatnya sadar, ia terlalu takut untuk mengakui banyak hal yang diketahui atau dirasakannya, bahkan kepada dirinya sendiri.

ia jadi malu pada hati barunya yang selalu jujur dan tak takut pada risiko. hati barunya memang takut pada banyak hal. namun tak pernah takut untuk mencoba dan gagal. tak seperti dirinya, pengecut yang payah; yang justru berusaha memanipulasi perasaan takutnya dengan kebijaksanaan dan sikap hati-hati akan kenyataan yang biasanya terjadi.

tapi keadaan sudah kacau tak terkendali. dan Peri Hutan bagaikan puzzle yang berserakan. orang-orang yang masih ingin melihat gambar utuh yang ada pada dirinya perlu usaha ekstra keras untuk menyusun kepingannya kembali.

“Iya… Semoga saja ia menemukan orang yang tepat, yang dapat menguraikan benang kusut itu dan merajutnya jadi sebuah kemeja pesta terbaik yang pernah ada.”, kata Peri Hutan kepada Peri Kue Bulan setelah lama termenung.

setiap orang pasti memilih yang terbaik bagi dirinya. hal itu takkan ada habisnya, karena barang yang baru selalu saja menarik hati kita dan memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lama. namun yang sekarang menjadi masalah adalah bukan bagaimana kita menyempurnakan hidup kita dengan terus memilih yang terbaik, tapi bagaimana menerima dan memaafkan kekurangan-kekurangan dari pilihan yang telah kita buat di dalam hidup.

Do you have the slightest idea
Why the world is bright with you here?
Stay a while and wait and see
If things go right we're meant to be” – Sondre Lerche (Modern Nature)

Friday, March 16, 2007

Things You Call Fate

This is why I'm here. Not to go to the supermarket. Not to sign your autograph. I'm here to sing these songs.” (Thom Yorke)

pernyataan tersebut dilontarkan oleh vokalis Radiohead, Thom Yorke, dalam wawancara dengan Jon Wiederhorn untuk MTV Europe beberapa waktu yang lalu. pria pemalu yang penuh dengan pemikiran politis dan terkesan sarkas dalam hampir setiap pernyataannya ketika diwawancara, terlebih ketika disinggung mengenai kehidupan pribadinya ini boleh jadi sedikit dari yang telah menemukan tujuan hidup dan takdirnya; maksud dari keberadaannya di dunia yang fana ini.


Peri Hutan belajar banyak selama di perjalanan. ia memang belum mampu berdamai dengan masa lalunya.

sesungguhnya ada tiga hal utama yang selalu mengganggu di dalam hidup kita. membuat kita cemas atau was-was. ketiga hal tersebut adalah hati, ketakutan, dan takdir.

“Hati memang sebuah teka-teki yang abadi. Terkadang kuat, terkadang lemah.”

“Ketakutan adalah sebuah teka-teki yang dilematis. Langit mendung kita takut hujan, langit cerah kita takut panas.”

“Takdir… Takdir adalah sebuah teka-teki yang membingungkan. Siapa sangka bahwa takdir bersurat. Di perang Baratayudha, Arjuna akan ditakdirkan melawan Adipatikarna, kakaknya sendiri… dan Kunti harus rela kehilangan salah satu anaknya.” – Mbak Wid (Biola Tak Berdawai, 2003)

bagi Mbak Wid, seorang dokter di penampungan bayi-bayi cacat yang diperankan oleh Jajang C. Noer, kehidupan memang penuh dengan teka-teki. untuk itu ia merasa memerlukan tarot dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang hidup. menurutnya, kartu-kartu itu membuatnya tetap waras karena setiap hari harus berhadapan dengan bayi-bayi yang mati.

tidak ada yang mau hidup sendiri. sunyi di dalam kesepian. namun bagaimana jika takdir membawa kita kepada kesendirian itu? bagaimana jika takdir menginginkan hal-hal yang berkebalikan dengan apa yang kita inginkan? sekeras apapun manusia berusaha, akankah semuanya membawa hasil jika sesuatu telah digariskan?

Peri Hutan menghanyutkan ranselnya ke dalam sungai, biar tak ada beban lagi yang harus digendongnya. kini ia hanya punya topi jaringjaring bodoh dan kamera poket bersamanya. juga benang sulam merah jambu kepunyaan mendiang neneknya yang tak ikut ia hanyutkan ke dalam sungai. mungkin suatu saat ia akan membutuhkan ransel kecil baru. mungkin juga tidak. tapi yang pasti, terlalu banyak makan rumput yang pahit di pinggir sungai dan sendirian bukanlah perpaduan yang disarankan. walaupun bisa jadi pilihan terbaik di saat-saat seperti ini.

kini luka lama telah terobati, dan Peri Hutan siap menyongsong perubahan di dalam hidupnya. ia tidak terburu-buru. siapapun bisa datang dan pergi. yang tetap bersamanya tentu saja akan menjadi orang-orang terpilih. dan kalaupun tak ada, seharusnya tak jadi masalah. ia harus mempersiapkan diri, jika takdir yang memintanya.


I find it hard, hard to let go
And you are entitled to know,
you have brought nothing else but bliss,
a great deal of frustration, a voluntary occupation
driving me insane and off the wall
And we were free to choose each other
But now it seems like something other
So have you placed me where I stand?

We turned caring like a mother, afraid to lose each other
It got us this far
Now problems are:
I have no bags to pack, no suitcase waiting in the hall

You have no make-up, no stockings in my drawer
Oh, how did we forget? How could we forget?
It's easy to learn if you never regret
When you live in paranoia and you know she's got you, oh yeah
You can't leave until you know the truth
So for months you're going nowhere
until you seize the day and place yourself behind the steering wheel

Or you could end like you don't want to, the opposite of what you planned to
You can watch the ships when they're abroad
Become a joke when people see you, cause it's enough to please you
You got this far, step out of the car
I have no bags to pack, no suitcase waiting in the hall
You have no make-up, no stockings in my drawer
Oh, how did we forget? How could we forget?
It's easy to learn if you never regret
We'll never learn in the future, this is it, seemingly I am sure
I know we haven't been together now
It wasn't meant to be this way so we'll give it days and days
and we'll try to make it easy now

Once I believed we could approach this,
now I have faith placed in the things you call fate

In the things you call fate
In the things you call fate…” – Sondre Lerche (Things You Call Fate)

Sunday, March 11, 2007

Tunggu Abang di Pengkolan, Sayang!

Somewhere out there in between
the moon and the sea
I'll be waiting for you, my dear,
so wait for me...” [*]

tidak ada pekerjaan yang lebih membosankan daripada menunggu. Peri Hutan nyaris mati jongkok dibuatnya. ditemani kumbang-kumbang musim panas, ia menghitung jumlah Bajaj, Kopaja, Metromini, bemo, bus, dan taksi yang lewat di depan batang hidungnya.

ada satu hal yang hampir pasti dilakukan oleh siapapun : mencari kepastian. tidur rasanya takkan nyenyak sampai mendapat jaminan bahwa besok dapat kenaikan gaji atau pangkat. makan jadi tak enak ketika belum tentu orang yang kita sukai juga menyukai kita. lalu supaya tidur nyenyak dan makan enak mending pilih pekerjaan yang sudah pasti-pasti saja. juga pilih pasangan hidup yang sudah yakin 100% bakal suka kita juga. urusan perasaan abang belakanganlah! yang penting pan si eneng udah cinte! betuuuulll???

betul. hal itu sangat manusiawi dan terjadi pada siapapun. mungkin Thom Yorke hanya meracau saja saat menulis lagu “True Love Waits”. menebarkan ajaran sesat, dan sial buat Peri Hutan yang sampai sekarang masih mengimaninya. mungkin memang tidak ada yang tunggu-menunggu di dunia ini. siapa cepat dia dapat, bung!

tapi bagaimana ini? Peri Hutan tidak bisa pulang tanpa bus dengan tulisan “Tunggu Abang di Pengkolan, Sayang!” di kaca belakangnya. sejauh penglihatannya, yang lewat hanya angkot dengan tulisan “Restu Ibu”, “Bunda Maria Penyelamatku”, dan “Kutunggu Jandamu”. yang lainnya gambar-gambar perempuan berpose seronok. dan selama ia berjongkok sambil menunggu, sudah lewat sebanyak 351 Bajaj, 673 Kopaja, 566 Metromini, 89 bemo, 478 bus, dan 297 taksi.

Peri Hutan sudah muak menghitung! maka ia berdiri dan membetulkan letak topi jaring-jaring bodohnya, sambil memakai ranselnya kembali, bersiap-siap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. bisa benar-benar mati jongkok ia dibuatnya, jika terus menunggu si bus “Tunggu Abang di Pengkolan, Sayang!”. setidaknya ia melakukan sesuatu. tidak hanya menunggu, duduk diam terbengang-bengong bagai sapi ompong.

mungkin di dalam perjalanannya tiba-tiba ia menemukan bus yang sedari tadi ditunggu-tunggunya. atau mungkin juga ada bus lain yang ternyata dapat mengantarkannya ke rumah yang ingin ia tuju. atau bisa saja memang sudah takdirnya tak menemukan jalan pulang ke rumah yang ia idam-idamkan; tersesat seumur hidup di dalam perjalanan panjang tak berujung, singgah dari satu kota ke kota yang lain. seumur hidup jadi tamu. pendatang. orang asing.

You brighten my life like a polysterene hat
but it melts in the sun like a life without love
and i’ve waited for you
So I’ll keep holding on
without you... – Silverchair (Without You)


[*] Wait For Me – Sean Lennon (Friendly Fire)

Thursday, March 08, 2007

Keluarkan Benang Sulammu Peri Hutan, Ayo Merajut Lagi!


A sudden rush of expectation
as I realise it's
YOU.
Like a river in a droughtful season.
How cool you didn't call.
Initial hint of disappointment.

The mirror of my smile
that isn't there, that doesn't follow
a very causal 'hi'.
Why did you come at all,
if it wasn't for me?
Another blow of resignation
when realise I do.
Now in your hands
the book you borrowed.
The whole way we first met
comes together in my head,
when the picture's clear you've left
– Erlend Oye (Sudden Rush)

sudah cukup. Peri Hutan mau pulang. seperti kata Paulo Coelho dalam The Zahir, “Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit”, inilah saat yang tepat bagi Peri Hutan untuk merajut kembali seperti sedia kala. lagipula tas ranselnya hampir kosong. hanya benang sulam warna merah jambu milik mendiang neneknya yang masih tertinggal.


lagi-lagi separuh hatinya yang tersisa menuntun langkahnya kembali ke hutan bunga matahari, ke tempat orang-orang yang dicintainya. sekeras apapun usahanya untuk menjauh dari sana, untuk kesekian kalinya pula ia kembali ke sana.


mungkin Peri Hutan memang terlalu takut untuk merajut lagi. padahal ia ingin sekali merajut dengan cinta yang ia miliki, seperti kata Madame Lovètti. namun bagaimana kalau ternyata, tanpa disadari ia melakukannya supaya dicap hebat? dianggap penolong atau pahlawan kebajikan?


semoga saja tidak. ia sudah tak sabar mengadakan pesta kebun dengan Peri Topi Lebar. menambal celana kesayangan si Peri Tukang Nyengir yang sobek, supaya bisa jumpalitan lagi di trampolin barunya. juga genderang buluknya Kurcaci Penabuh Genderang. ia akan merasa sangat bahagia jika sahabat-sahabatnya juga bahagia.


tak apalah jika ia tak dapat lagi menghabiskan sorenya duduk-duduk di padang ilalang sambil merajut hati barunya. seperti kata pepatah, hidup bagaikan sebuah roda yang berputar; kadang di atas, kadang di bawah; semua yang ada di dunia ini juga ada masanya…