Friday, January 12, 2007

.:Beautiful Trouble:.

Waking up with a cup of coffee
Smoking cigarettes in the balcony
as the sun rises in a beautiful monet sky
with sigur ros' played on the playlists

Beautiful house
Beautiful garden
Beautiful ride
Beautiful stranger
Beautiful kids

Breakfast with Alisha's bacon,
to know we're all living

the beautiful trouble...

[12.01.07]

Thursday, January 11, 2007

Bubuk Ajaib Dinker Shell

“Nenek moyangku seorang pelaut,
gemar mengarung luas samudra
Menerjang ombak tiada takut,
menembus badai sudah biasa
Angin bertiup layar terkembang,
ombak menderu di tepi pantai
Pemuda berani bangkit sekarang,
ke laut kita beramai-ramai!!!”


(ini adalah lagu tradisional Indonesia, judulnya “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”. Sering dinyanyikan oleh anak-anak dan menjadi salah satu lagu wajib di taman kanak-kanak. Terima kasih buat Swasti untuk liriknya. Memori masa kecil saya kurang bagus. Kamu memang brilian!! Hahaha!!!.red)

Peri Hutan selalu suka pada laut. sejauh mata memandang yang terlihat hanya biru, biru, dan biru. lalu tanpa disadari tiba-tiba pandangan kita sudah beralih pada langit. bagian favoritnya adalah air laut yang berkilauan ditempa sinar matahari. kalau sudah begitu, Peri Hutan pasti lupa akan waktu. untungnya kali ini tak ada yang menggerecokinya untuk segera pulang. ia bebas bermain-main sampai matahari terbenam.

Peri Hutan selalu memiliki ketertarikan yang aneh pada pelaut. mulai dari Donal si bebek berbaju kelasi sampai Kapten Jack Sparrow. tapi setelah dipikir-pikir lagi, pelaut pasti dipuja dan dikelilingi oleh gadis-gadis cantik. dan hampir dapat dipastikan di setiap kota yang mereka singgahi menyimpan kisah cinta sesaat mereka dengan penduduk setempat. ah, tak rela Peri Hutan dimadu. apalagi memberikan hatinya untuk pria yang mengumbar cinta ke mana-mana. lagipula jika dipikir dengan akal sehat, tak ada satupun makhluk di dunia ini yang rela dimadu. sadar atau tidak, hal itu sama sekali tidak manusiawi dan menjadikan kita hanya setengah manusia. karena merengut sebagian rasa kemanusiaan kita yang ingin menjadi satu-satunya bagi seseorang yang kita cintai. dicintai sepenuhnya dan juga diperlakukan istimewa.

ombak mengguncang-guncang kapal yang dinaikinya dan membuat Peri Hutan kepingin muntah. tidak ada lagi nyanyian penuh semangat yang tadi dinyanyikan penuh semangat di awal perjalanan. bisa bernapas saja sudah untung! kenapa sih dia harus mabok laut di tengah perjalanan seperti ini?

perasaannya memburuk manakala teringat ia sedang dalam perjalanan meninggalkan Kurcaci Penabuh Genderang, peri-peri bodoh kesukaannya yang tinggal di negeri aneka-ragam, juga hati barunya yang kini entah berada di mana. tapi Peri Hutan terlalu pengecut untuk menerima kenyataan bahwa suatu saat mereka semua bisa saja meninggalkannya. lebih baik aku saja yang meninggalkan mereka, batin Peri Hutan, masih sambil mual-mual. tentu saja mereka akan merasa sedih, tapi takkan melebihi rasa sedihnya apabila ia yang ditinggalkan. mungkin saja Peri Hutan tak sebegitu berartinya bagi orang-orang yang ia sayangi. ditinggal pergi oleh Peri Hutan takkan membuat hidup mereka kacau balau. tidak seperti kehidupannya yang pasti akan sangat kacau ketika ia harus menerima kenyataan harus kehilangan harapannya satu per satu tanpa tahu kapan dan bagaimana itu akan terjadi. membayangkannya saja sudah membuatnya sesak napas. persis seperti sekarang! ia jadi tidak tahu lagi rasa mualnya itu akibat membayangkan dirinya kehilangan harapan atau memang karena ombak yang semakin menyiksa dan tak bersahabat.

yang Peri Hutan sadari, ia tak akan pernah siap menghadapinya. lebih baik ia yang pergi. setidaknya ia pergi dengan membawa kenangan manis akan orang-orang yang disayanginya. walaupun berulang kali Kurcaci Penabuh Genderang selalu meyakinkan dirinya bahwa semua sayang padanya. dan semua khawatir jika sesuatu yang buruk menimpanya. tapi dasar Peri Hutan memang keras kepala, ia susah percaya kalau hanya diberi tahu.

kalau sudah begitu ingin rasanya ia menghilang saja. lenyap seperti buih-buih yang menguap di udara. atau seperti gelembung-gelembung sabun yang ditiup anak-anak di padang rumput. berguna sesaat lalu tiada. hidup rasanya jauh lebih menyenangkan ketika kita bisa terbang. ringan seperti bulu bagai tak ada beban.

akhirnya kapal yang ditumpangi Peri Hutan menepi di pantai. Peri Hutan keluar dari kapal sambil terhuyung-huyung. lalu tersungkur di pasir. tak sadarkan diri.

***

Ngiiiiiiinggggg……

“Hey, bodoh! Ayo bangun! Kita main bersama!!!”

Ngiiiiiiingggggg……

“Arghhh, apaan sih??!!”, Peri Hutan berusaha menghalau sesuatu yang terbang-terbang di depan wajahnya, mengganggu tidurnya.

“Hihihi, dasar bodoh! Ayo bangun, kita terbang dan main bersama di kumpulan awan!”, kata suara itu lagi.

Peri Hutan membuka sebelah matanya. ogah-ogahan.

“Hah? Siapa kau?”, Peri Hutan terkejut melihat peri yang terbang di sekitarnya.

“Aku Dinker Shell, penghuni pantai ini!”, jawab peri kecil yang sedari tadi terbang-terbang mengelilingi Peri Hutan yang tak sadarkan diri.

“Hai, Dinker Shell…”, sapa Peri Hutan sambil malas-malasan. “Namaku Peri Hutan.”

“Ayo kita main ke sana, Peri Hutan!!!”, ajak Dinker Shell bersemangat, sambil menunjuk ke kumpulan awan di langit.

“Dasar bodoh! Bagaimana caranya aku ke sana??? Aku kan tidak punya sayap!”, protes Peri Hutan kesal.

“Hihihi… Peri macam apa kau? Masak tidak punya sayap???!!”, ledek Dinker Shell sambil terkikik geli.

Peri Hutan merengut sambil bersungut-sungut.

“Hehehe, maaf maaf… Jangan marah donk. Nih, aku punya bubuk ajaib yang bisa membuat tubuhmu ringan seperti bulu. Bubuk ini tinggal kau sebarkan ke seluruh tubuhmu, kau langsung bisa terbang sepertiku walaupun tanpa sayap. Pastinya jauh lebih enak daripada makan rumput yang pahit atau mabok laut.”, bujuk Dinker Shell sambil mengedipkan mata kirinya.

mata Peri Hutan langsung berbinar-binar. botol kecil berisi bubuk ajaib itu langsung dirampasnya dari tangan Dinker Shell dan disebarkan ke seluruh tubuhnya. Peri Hutan selalu ingin terbang ke angkasa. benar saja, tubuhnya jadi seringan bulu. berhari-hari Peri Hutan bermain-main petak-umpet dan jumpalitan di tumpukan awan bersama Dinker Shell.

“I am thinking it's a sign,
that the freckles in our eyes are mirror images
and when we kiss they're perfectly aligned.
And I have to speculate that God himself
did make us into corresponding shapes like puzzle pieces from the clay.
True, it may seem like a stretch,
but its thoughts like this that catch my troubled head
when you're away when I am missing you to death
when you are out there on the road for several weeks of shows
and when you scan the radio,
I hope this song will guide you home…

They will see us waving from such great heights,
'come down now', they'll say…
But everything looks perfect from far away,
'come down now', but we'll stay...” [*]

***

tiba-tiba ada suara yang dikenalnya, memanggil-manggil namanya dari bawah. rupa-rupanya si Kurcaci Penabuh Genderang dan Serpina Sipirili yang menyusul dirinya. tapi Peri Hutan tak menggubris mereka karena terlalu asyik balapan dengan layangan pantai lebar yang ada buntutnya, yang dimainkan oleh seorang anak nelayan.

“Peri Hutan, ayo kita pulang… Aku janji takkan ada lagi orang yang menjahatimu. Tidak si Sigung Muka Dua, Tante Kelinci Mulut Usil, atau yang lainnya yang mirip-mirip dengan si Buncit Keparat. Kalau nanti mereka brengsek lagi akan kutusuk-tusuk dengan stik drum-ku. Persis seperti kau menusuk-nusuk perut si Buncit dulu. Aku sungguh-sungguh Peri Hutan… Nanti kau kubuatkan ayunan besar dengan tenda untuk menggantikan ayunan reyotmu.”, bujuk Kurcaci Penabuh Genderang dengan wajah sedih karena sahabatnya tak kunjung berniat untuk turun.

“Iya Peri Hutan, nanti kau kuhibur dengan tarian baruku…”, kata Serpina Sipirili sambil menggandeng tangan Kurcaci Penabuh Genderang dengan muka murung. ia sedih karena biasanya Peri Hutan selalu antusias bertemu dengannya.

“TIDAK MAUUUUUUUUUUU!!!!! AKU TIDAK MAU TURUN!!!! Aku suka di atas sini, semuanya terlihat kecil seperti upil. Rasanya menyenangkan, apalagi kalau aku bisa menyentil mereka sampai mental. Lagipula aku sedang asyik balapan dengan layangan berbuntut. POKOKNYA AKU TIDAK MAU TURUUUUUN!!!”, jerit Peri Hutan sambil meronta-ronta di atas layang-layang berbuntut itu.

“Ayolah Peri Hutan… Nanti siapa yang menjahitkan drum buluk-ku kalau sobek-sobek lagi?”, bujuk Kurcaci Penabuh Genderang lagi, mencoba peruntungan.

“MASA BODOH!!!! Biar saja genderang buluk-mu sobek-sobek! AKU TIDAK MAU MENJAHIT LAGI!!! Aku capek! CAPEK! CAPEK! CAPEK! Hu..huu..huuu…”, teriak Peri Hutan, kali ini sambil menangis tersedu-sedu.

Kurcaci Penabuh Genderang dan Serpina Sipirili hanya bisa memandang sedih Peri Hutan yang menembus awan, dari kejauhan.

[*] Such Great Heights – The Postal Service (Give Up)