Monday, June 25, 2007

Tantangan untuk Kembalinya Separuh Hati di Dalam Toples



belakangan mendung selalu menghiasi raut wajah si Peri Hutan yang manis. terkadang hidup ini bisa terasa sangat panjang dan membosankan ketika yang kita kerjakan hanya membunuh waktu setiap saat.

seperti sekarang, Peri Hutan sebenarnya tak mengerti apa yang membuat ia berjongkok di halaman depan rumah pohonnya, mencungkili tanah. yang ia tahu, ia melakukannya untuk menanam bibit bunga matahari yang barusan diberikan oleh si Serpina Sipirili. hanya supaya bibit itu tak sia-sia dan jadi berjamur disimpan di udara yang lembap akibat hujan terus-menerus di siang hari. untuk apa, ia tak terlalu mau tahu dan peduli.

Peri Hutan yang sedang asyik sendiri dengan sekop, cungkilan tanah, dan bibit bunga mataharinya terkejut bukan kepalang tatkala mendongak dan melihat toples berisi separuh hatinya, yang dulu ia titipkan pada Madame Lovètti, tersodor persis di depan batang hidungnya. sambil masih tetap berjongkok, ia memiringkan kepalanya ke kiri untuk melihat siapa yang membawa pulang separuh hatinya itu. persis seperti yang ia harapkan. dan Peri Hutan tersenyum lebar sambil memicingkan matanya, berusaha melawan sinar matahari yang beradu penampakan dengan penyelamat hatinya itu. puas dan penuh hatinya hari ini.

menit berikutnya ia sudah berada di padang ilalang bersama hati barunya. berbaring menikmati angin semilir, seperti sedia kala, dengan dirinya mendekap separuh hatinya di dadanya.

“Peri Hutan, lain waktu kupinjam kembali separuh hatimu, yah...” pinta si hati baru yang juga berbaring tepat di sebelah Peri Hutan. dalam hitungan detik, ia takkan menyangka kali ini Peri Hutan yang akan menyodorkan permainan padanya. menggantikan permainan layang-layang, gasing berputar, petak-umpet, dan tebak-tebakan yang dulu biasa mereka mainkan.

“Tidak bisa. Tidak semudah itu kau bisa mendapatkan separuh hatiku kembali. Kalau kau memang benar-benar menginginkannya, apa yang akan kau lakukan untukku?” tanya Peri Hutan dengan senyum licik, dihiasi oleh mata bulatnya yang berbinar-binar seperti kanak-kanak. gembira dan bersemangat karena permainan baru yang menarik.

“Aku... takkan mengganggu kehidupanmu selama setahun,” jawab si hati baru sambil tersenyum dan menatap Peri Hutan tajam. permainan yang menarik selalu memacu jantungnya berdegup lebih kencang. dan kali ini tantangannya jauh lebih menarik daripada apapun yang ada di dunia, termasuk kehidupan itu sendiri.

“Baiklah. Aku akan menunggumu di padang ilalang ini tepat satu tahun dari sekarang. Pada saat itu akan kupinjamkan lagi separuh hatiku padamu,” balas Peri Hutan seraya menatap si hati barunya itu lekat-lekat. puas dengan jawaban si hati baru.

“Sampai jumpa, Peri Hutan! Aku pasti akan kembali mengambil separuh hatimu. Tunggu saja...” seru si hati baru bergairah sambil beranjak pergi, meninggalkan Peri Hutan yang masih berbaring mendekap separuh hatinya di dalam toples, sambil tersenyum dengan mata terpejam. menikmati sinar matahari yang berpadu dengan semilir angin. sekaligus meresapi kehadiran hati barunya yang datang membawakan toples berisi separuh hatinya, untuk kemudian pergi lagi dengan tak lupa meninggalkan segudang harapan buat masa depan.

“He offers a handshake. Crooked, five fingers. They form a pattern. Yet to be matched
On the surface simplicity. Swirling black lilies totally ripe. But the darkest pit in me.
It's pagan poetry. Pagan poetry
Morsecoding signals. They pulsate and wake me up from my hibernate
....
I love him, I love him
....
This time I'm gonna keep me to myself. This time I'm gonna keep my all to myself
(She loves him, she loves him)
And he makes me want to hand myself over”
[Pagan PoetryBjörk (Vespertine)]

Friday, June 15, 2007

Stand By Me...



Made a meal and threw it up on Sunday
I’ve got a lot of things to learn.
Said I would and I'll be leaving one day
before my heart starts to burn

Peri Hutan kedatangan hati barunya di hutan bunga matahari. hati barunya yang telah lama menghilang, kini muncul di depan pintu rumah pohonnya di saat subuh, di mana orang-orang masih meringkuk di balik selimut dan ngelindur, dan embun pagi masih menempel lekat di daun, sama halnya dengan belek dan iler yang masih lekat menempel di mata dan bantal. dan Peri Hutan mengucek-ngucek matanya, tak percaya akan kunjungan tiba-tiba ini.

So what's the matter with you?
Sing me something new...don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away


semua perasaannya bercampur aduk, berbaur jadi satu. Peri Hutan sampai tak tahu lagi bagian mana yang lebih besar daripada yang lainnya. rasanya ingin sekali mendamprat, "kenapa baru datang sekarang??!!!" atau "tak pedulikah kau waktu itu aku nyaris mati tersungkur dari ayunan reyotku???!!!" tapi saat ini perasaan hatinya sudah tak karuan, jadi ia tak mau tambah merusaknya dengan berbuat hal-hal yang bodoh. maka alih-alih mendamprat si hati baru, ia hanya berkata datar, "tunggu sebentar, kuambil dulu jaketku."

Times are hard when things have got no meaning i've
I’ve found a key upon the floor
Maybe you and I will not believe in
the thing we find behind the door

Peri Hutan dan hati barunya berjalan menyusuri jalan setapak dalam gelap dan diam. sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Peri Hutan sibuk menerka-nerka maksud kedatangan si hati baru dan mengenang-ngenang keadaan di masa lalu yang terasa jauh lebih baik dibandingkan sekarang. sedangkan si hati baru entah sibuk memikirkan apa. mungkin sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dimilikinya untuk menaklukkan dunia. atau bagaimana caranya menjadi seorang superhero, menggantikan Superman.

Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows
Yeah, nobody knows the way it's gonna be

tak berapa lama, mereka sampai di padang ilalang, tempat di mana mereka dulu biasa menghabiskan sore dengan duduk-duduk dan menonton sepotong senja yang lewat. hanya saja kali ini tanpa kambing-kambing ceking yang menemani. "Peri Hutan, apa perbedaan jenggot dan janggut?" tanya si hati baru.

If you're leaving will you take me with you?
I'm tired of talking on my phone
There is one thing I can never give you
My heart will never be your home

cukup sudah. permainan macam apa lagi yang akan ia dan hati barunya itu mainkan? Peri Hutan sudah capek meladeni permainan layang-layang, gasing berputar, petak-umpet, dan tebak-tebakan yang disodorkan oleh si hati baru. harus berapa karung keegoisan dan gengsi lagi yang ia dan hati barunya beli untuk memporak-porandakan semua yang selama ini mereka pikir mereka miliki?

So what's the matter with you?
Sing me something new...don't you know
The cold and wind and rain don't know
They only seem to come and go away


jika semuanya memang selalu datang dan pergi buat Peri Hutan, mengapa bukan ia saja yang pergi kali ini? toh sepertinya pengorbanan bukan jalan yang ia dan hati barunya pilih untuk saat ini.

Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows the way it's gonna be
Stand by me, nobody knows
Yeah, nobody knows the way it's gonna be
The way it's gonna be, yeah
Baby I can see, yeah

dan Peri Hutan berlari menyusuri jalan setapak yang gelap dan dingin, meninggalkan hati barunya yang masih menunggu jawaban apa bedanya jenggot dan janggut dari Peri Hutan di padang ilalang, sebelum malam benar-benar turun menyingkap air matanya yang berderai.


[*] Stand By Me – Oasis (Be Here Now)

***

Aku tak pernah ingin menyerah
Tapi masihkah berarti kalau kalah?

Waktu menyiram tubuh
Darah pun menjadi putih

Aku tahu saat untuk pasrah
meski jauh di dalam tanah,
kulambai dirimu dengan pedih

(Kulambai Dirimu, 14 Januari 1996 oleh Seno Gumira Ajidarma)

Tuesday, June 05, 2007

Permen Rasa Jeruk dan Kurcaci Tukang Sulap






kita semua yang hidup di dunia ini pasti menunggu sesuatu. entah itu menunggu bus untuk pulang, menunggu warisan, menunggu sembako, menunggu jodoh yang tepat, atau menunggu kematian. dan terkadang perkara menunggu ini bisa membuat kepala yang tidak gatal jadi terasa gatal karena tidak keramas sebulan. seperti kata Einsten tentang teori relativitas. ia bilang, “kalau kita menunggu dekat kompor, 5 menit saja rasanya seperti 5 jam. Tapi kalau dekat pacar 5 jam rasanya kayak 5 menit saja...”

lama kelamaan Peri Hutan jadi linglung. tak tahu lagi apa yang ditunggunya atau dicarinya. busyet! bisa berabe urusannya kalau dibiarkan. hidup tak ada artinya lagi ketika kita hanya membunuh waktu di dalamnya tanpa tahu tujuan, dengan cara-cara yang ala kadarnya pula.

ada yang bilang hidup adalah sebuah pilihan; di dalam hidup ini kita tak terhindarkan dari urusan pilih-memilih yang memusingkan kepala. tidak salah jika lantas ada yang berteori : penentu segala yang terjadi di dalam kehidupan ini adalah si empunya hidup itu sendiri, tak ada sangkut pautnya dengan sang Alam Semesta. ada lagi yang teguh pada keyakinan bahwa takdir itu memang sudah digariskan. kita tak bisa berbuat apa-apa selain menjadi aktor, pelakon drama kehidupan yang sudah tertoreh di dalam skenario karena toh pilihan-pilihan yang telah kita buat itu rupa-rupanya juga sudah terdapat di dalam naskah. lalu ada juga yang coba-coba menjadi penengah : si empunya hidup boleh saja berencana atau berusaha (dan memang harus seperti itu; bukannya bertopang dagu menunggu durian runtuh dari langit) tapi penentu segalanya tetap saja sang Alam Semesta.

***

seperti tamu yang tak diundang, ingatan tentang si Kurcaci Tukang Sulap lagi-lagi meluncur deras tanpa permisi. bukannya tanpa sebab tiba-tiba si kurcaci, yang memang pekerjaan sehari-harinya sebagai tukang sulap itu bisa muncul di benak Peri Hutan.

pasalnya, kemarin sore Peri Hutan berjanji dengan sahabat lamanya, Peri Dagu Runcing, untuk bertemu di perbatasan hutan bunga matahari dan hutan pinus, yang sekarang jadi tempat tinggal sahabat lamanya itu. memang sejak kepindahan Peri Dagu Runcing ke hutan sebelah, Peri Hutan jadi jarang sekali bertemu dengan peri yang suka tertawa terkekeh-kekeh ini. selama setahun pertemuan mereka bisa dihitung dengan jari, karena mereka sudah memiliki kehidupan dan masalahnya sendiri masing-masing. makanya, pertemuan langka semacam ini tak disia-siakan oleh keduanya.

tak ada yang istimewa dari pertemuan itu, sampai si Kurcaci Tukang Sulap tiba-tiba muncul untuk menjemput Peri Dagu Runcing, satu-satunya adik yang ia miliki. ah, seharusnya Peri Hutan tahu sampai kapanpun ia takkan bisa menghindar dari tukang sulap yang agaknya sayang benar pada adiknya itu. pokoknya di mana ada Peri Dagu Runcing sudah dapat dipastikan ada Kurcaci Tukang Sulap yang menemani.

Peri Hutan masih ingat lelucon-lelucon bodoh si Kurcaci Tukang Sulap yang sering ia lontarkan dan kepiawaiannya dalam bermain sulap yang selalu membuatnya tercengang. ia juga masih ingat benar kejadian di stasiun Kaktus yang mengubah segalanya di antara mereka. kejadian di mana banyak sekali janji pertemuan dengan si Kurcaci Tukang Sulap yang ia abaikan. dan ketika akhirnya janji pertemuan di stasiun Kaktus untuk pergi berpetualang bersama itu ia penuhi, ia malahan menghilang dalam kereta yang sama tanpa pernah turun dari gerbong. ia bahkan tak bisa lupa bagaimana ia bersembunyi dan mengintip di balik gorden kaca gerbongnya, meninggalkan Kurcaci Tukang Sulap yang kebingungan menunggu tanpa kabar darinya sambil menggendong ransel. meski kejadian itu sudah sangat lama terjadi.

alasannya hanya ketakutan yang mengada-ada. takut ia tersesat dan tidak menemukan jalan pulang. takut tak tahu apa yang harus diobrolkan dan perjalanan yang panjang itu jadi terasa membosankan. takut ditipu seperti TKW di negeri tetangga karena bodoh dan tak tahu apa-apa jika dibandingkan dengan Kurcaci Tukang Sulap yang nampaknya sudah banyak makan asam garam. ironis memang jika dirunut dari awal. di balik sikap gagah beraninya, Peri Hutan cuma peri yang payah yang selalu lari dari apapun sambil menggendong ranselnya yang berisi buntalan ketakutan.

apa jadinya jika waktu itu Peri Hutan memilih turun dari keretanya? dari Peri Dagu Runcing ia tahu bahwa Kurcaci Tukang Sulap tak pernah terlibat janji pertemuan lagi dengan siapapun sejak kejadian di stasiun Kaktus itu. lalu apa yang membuat si Kurcaci Tukang Sulap masih setia di dalam penantiannya sampai sekarang? apa yang sebenarnya selama ini Peri Hutan butuhkan? mengapa ia selalu memilih menunggu untuk sesuatu yang tak pernah pasti padahal tawaran-tawaran di depan batang hidungnya lalu lalang? dan banyak kata tanya apa dan mengapa lainnya yang akan terlontar jika kalimat ini dilanjutkan.

mungkin akan lebih mudah jika Peri Hutan memiliki keyakinan bahwa ia mungkin saja ditakdirkan untuk sebatang kara sepanjang hidupnya. jadi yang ia perlukan hanyalah kebesaran hati untuk menerima takdirnya itu, tanpa perlu merasa was-was atau dihantui perasaan bersalah dan penyesalan.


***


“Kembang gula sugus rasa jeruk untuk Peri Hutan yang manis!” seru Kurcaci Tukang Sulap sambil tersenyum simpul dan menyodorkan sebungkus permen sugus rasa jeruk, yang disulapnya keluar dari belakang telinga kanan Peri Hutan. hanya satu hal ini yang tidak pernah berubah dari Kurcaci Tukang Sulap, bahkan semenjak hari di mana Peri Hutan meninggalkannya sendirian di stasiun Kaktus; ia selalu menghadiahkan permen rasa jeruk buat Peri Hutan dengan trik sulapnya.

“Waw! Kembang gula rasa jeruk!!!” pekik Peri Hutan girang. matanya yang bulat berbinar-binar bagai kanak-kanak di dunia fantasi. walau sudah berkali-kali si Kurcaci Tukang Sulap melakukan trik itu, Peri Hutan seakan-akan tak pernah bosan dibuatnya dan selalu terkagum-kagum dengan tipuan sulap semacam itu.



***


entah harus berapa pertemuan tak disengaja lagi yang harus Peri Hutan dan Kurcaci Tukang Sulap lewatkan, tanpa terjebak di dalam kebisuan panjang yang menyiksa sehabis sulap permen rasa jeruk...