Wednesday, June 30, 2004

Hold My Hand

Genggam tanganku erat,
temani jiwaku yang lelah dalam kesendirian dan kesunyian
Tersesat di dalam kehampaan yang hanya milik kita,
hanya kita yang rasa…

Temukan hadirku,
dalam setiap pejaman matamu
dan ‘kan kutemukan dirimu,
terukir indah dengan senyum manismu,
dalam tiap sudut ingatanku...

Keep our memories in the edge of time,
make it lingers upon the air,
away from the awakeness
‘cause we both know that nothing lasts forever in this phony world...

Feel my presence,
while the day against usand the night took us apart...

Hold my hand once again,
bring all what we haveand we'll fly away,
far away from our solitude…
and I’m with you,
‘cause I don’t think this world would understand...

Genggam tanganku erat,
karena tak seorangpun ‘kan mengerti...
Kita akan bercerita,
di suatu tempat
hanya kita yang tahu...

Jakarta, Juni 2004

Untuk : Ilona Soeyanto

[your dear friend, always...]

Tuesday, June 15, 2004

Kisah Milik Kita

Dari sekian banyak yang ada,
dan sekian banyak yang tiada…
Kisah kita tetap disini…
takkan habis,
bergeming…
Mengalun indah dalam tiap masanya,
menyatukan setiap pikiran dan kata
tak terucap karena tak pernah dimengerti dunia…
menjadi satu simfoni yang indah,
melodi milik kita berdua…
hanya kita berdua yang mendengar…
hanya kita berdua yang menyanyi…

Cause no matter what time would change.
and no matter how far a distance could bring
we still have this little part,still keep this things in mind,
forever ours…

Jakarta, 15.06.04

dedicated to : Bene
thanks for your faith; it fills a little part of this empty heart;
and still walk with me as I need it…

[your dear friend, always...]

Thursday, March 18, 2004

Dongeng Upik Abu

Kemarin malam,
sekali-kalinya
ibuku mendongeng…
Ia bercerita tentang Upik Abu,
katanya :


“Upik Abu yang malang…
membawa sapu,
mengelap debu,
di malam Rabu…
Untung saja ada pangeran tampan,
tak peduli biar si Upik Abu
hanya seorang babu dan naik labu,
tetap diburu…


Upik Abu yang beruntung,
takkan pernah lagi bawa sapu
dan mengelap debu
di malam Rabu
yang dingin…
karena sudah dipenjara dalam pernikahan indah dan sempurna…
seindah gaun pengantinnya,
dan sesempurna pesta pernikahan
di istana yang megah

HIDUP BAHAGIA SELAMANYA…”

[cerita selesai]


Lalu ibu berkata,
“jadilah Upik Abu, nak…
Bahagia sampai akhir hayat,
hidup mewah, dan
tak kesepian di hari tua…”


Akal sehatku lalu menampar,
apa yang terjadi pada Upik Abu
setelah cerita ibu selesai?
Mengapa ceritanya tidak berlanjut?
Karena aku mau tahu
seperti apa hidupnya di sana setelah itu?
Sungguh bahagiakah ia sampai tua?
Lelahkah ia mengurus rumah tangga
dengan banyak anak?
Apakah ia jadi gembrot karena dicekoki usia
dan kecantikannya pudar dilarutkan oleh cairan waktu?
Akankah ia kesepian dan mati dalam kekosongan
ketika menemukan cinta yang pernah ada sudah mati?

(karena memang tidak ada yang abadi disini)

Atau pernahkah ia bersedih dan menangis
karena dicerca, diperlakukan tidak adil,
dilecehkan, dan disiksa fisik dan batinnya,
seperti perempuan disini?

Aku cuma mau tahu…

(karena disini cerita belum selesai)

Jakarta, 18.03.04
-perempuan di dunia nyata-

Friday, February 20, 2004

Requiem

Cintaku sudah hilang,
ditelan arus langit malamtanpa bintang…

Cintaku lindap,
terhalang gumpalan-gumpalan
awan kusut gelap…

Cintaku habis,
terkikis sudut-sudut langit
lagi-lagi gelap,
tak terlihat…

Bulan telah mati…
dikubur bersama debu-debu matahari,
digulung permadani langit,
dibungkus kertas hitam angkasa…

Tuhan yang Maha Kuasa,
Bulan sudah mati…

Jakarta, 20.02.04

Saturday, January 31, 2004

Siratan Mata
Hanya dengan melihat senyummu,
aku tahu kau selalu ada…
tersimpul di dalamnya,
walau matahari tak selalu bersinar
saat kita berjalan di jalan setapak yang sama…
Hanya dengan mendengar suaramu,
aku mengerti kau peduli…
walau kadang meradang,
lalu pergi dalam ngilu,
hanyut dalam kubangan duka…

Hanya dengan binar bola matamu,
aku tak sangkal kau membutuhkanku…
walau tertatih-tatihr
asa angkuh teredam,
seperti malasnya Rafflesia
merengkuh dinginnya embun pagi…

Hanya dengan hanya,
begitu pula dengan dirimu…
Manisnya paduan selai coklat
dengan setangkup roti hambar
dan pahitnya kopi dalam satu cangkir kehidupan…
Uapnya membumbung ke angkasa,
menyublim dalam nalar,
larut dalam suatu masa,
mengendap dalam setiap putaran takdir.
Berukirkan : senyuman termanis.
Teman sejati.
Tak terlupakan,
begitu pula dengan dirimu…

Jakarta
30.01.04 dan 31.01.04
teruntuk : Gita Regina Napitupulu
[your dear friend, always...]

Tuesday, January 27, 2004

Lengkungan Pelangi

Kenanglah manisnya cerita kita,
di dalam tiap masa adanya
bahagiaku, bahagiamu…
ketika binar mata kita angkat bicara,
dan senandung nada sumbang kita tetap terdengar merdu…

Ingatlah pahit getirnya,
tersimpan rapi di dalam tiap lembaran-lembaran usang dan rapuh
kisah kita,
sedihku dan sedihmu…
saat hujan membuka hari,
dan kita berada di dalamnya,
tetap bergandengan tangan…

Camkanlah setiap inci kenangan kita,
titian garis maya,
pembentang batasan
dua dunia yang berbeda
diantara kita

Tak mengapa,
karena apapun yang terjadi,
dan masa apapun melintas…
Jiwa kita tetap menari
bertautan menyenandungkan
kidung yang hanya milik kita
melatari perjalanan waktu tak berujung
di atas lengkungan pelangi,
lengkungan senyum kita…

Jakarta, 27.01.04

untuk : Margaret Laurens. sahabat. karib. apapun namanya.

[your dear friend, always...]

Saturday, January 24, 2004

Manifestasi Dunia Manasuka

Berdirilah mereka semua disana
dan tertawa dengan seringai jahatnya…

Bersekutulah mereka semua disana
dan mendesakku ke tepian…

Berteriaklah mereka,
“kau kekanak-kanakan!!”
dengan telunjuk menghujam ke arahku…

Memang,
aku kekanak-kanakan…

Menjeritlah mereka,
“mimpimu mengada-ada!!”
dengan tatapan dingin menusuk,
memasungku sampai ke akar…

Tak salah lagi,
mimpiku terlalu mengada-ada…

Persetan dengan menjadi dewasa!!

Aku mau tetap menari,
walau dirajam seribu duri kemunafikan…
Aku mau menangis sekuat tenaga,
seperti anak kecil yang kehilangan arah…
ketika yang bisa kalian lakukan
hanyalah membunuh harapan
dan merampas kebebasan
tanpa nurani…
tanpa mimpi…
tanpa jiwa…
tak punya mata, telinga, dan wajah…

Sedangkan aku…
masih hidup,
punya jiwa…
punya mimpi…
punya nurani…
walau masih anak kecil…

Jakarta, 24.01.04
[untuk setiap ketidakadilan dan marah di bawah kekangan]