Monday, December 25, 2006

Peri Rambut Pelangi si Pencuri Natal

NATAL. semuanya tentang kue stik keju kering. makanan enak. pohon besar dengan lampu neon kelap-kelip. baju baru yang bagus. hadiah yang menggunung. Opa Sinterklas dengan janggut putih yang panjang dan lebat.

biasanya hari Natal selalu disambut antusias dengan mata berbinar-binar oleh Peri Hutan. ia selalu suka dengan suasana malam Natal di mana lampu neon berkelap-kelip warna-warni di jalan raya. cahaya lilin kekuningan yang menghangatkan ruangan yang lembab akibat hujan sepanjang hari. menghirup bau rumput sehabis hujan yang bercampur di udara. suara-suara keriaan di saat Natal yang selalu dikenalnya, selalu dinantinya. suara orang-orang yang dikasihinya berkumpul di dalam suatu ruangan. penuh canda tawa dan harapan-harapan baru.

namun kini suara-suara yang didengarnya terasa asing. rasanya seperti sayup-sayup jauh di luar sana dan Peri Hutan merasa sangat kecil dan kesepian. ia tak lagi peduli akan kue stik keju kering. tak mau makan makanan enak. tak ingin menghias pohon Natal dengan hiasan dan lampu kelap-kelip. juga tidak berminat dengan baju baru dan hadiah yang menggunung.

sebenarnya, Natal nyaris tak berarti lagi semenjak Peri Hutan pertama kali dikecewakan di hari yang konon, kata banyak orang membawa keajaiban bagi mereka yang percaya. di hari yang penuh keajaiban itu, sebelas tahun yang lalu, Peri Hutan terpaksa menelan kenyataan pahit bahwa tak ada yang bisa kita percayai selain diri kita sendiri. bahkan pertalian darah pun terkadang tak bisa meluluhkan fitnah dan pengkhianatan. dan dari situlah segala kehancuran bermula, berbagai penyakit mulai menggerogot. menyerang fisik dan juga mental. juga kenyataan bahwa banyak orang yang disayanginya masing-masing telah memiliki kehidupan sendiri sekarang.

dan kini, semenjak kepergian kakeknya, Natal benar-benar sudah mati di hati Peri Hutan. walaupun terkadang ia masih berusaha untuk percaya bahwa mukjizat itu memang ada. seperti sekarang, ketika Peri Hutan sangat mengharapkan kehadiran hati barunya. untuk merayakan Natal bersama, supaya Natal tahun ini tak sesepi Natal biasanya.

Peri Hutan langsung berlari dan melompat ke atas pangkuan Opa Sinterklas yang janggutnya putih dan tebal, ketika ia menemukan sosok legendaris itu sedang duduk di pusat kota dengan banyak anak kecil yang mengantri untuk mendapatkan hadiah darinya.

“Hohoho, gadis manis... Mengapa kau tidak mengantri?”, tanya si Opa Sinterklas berjaket merah dengan tawa khasnya. anak-anak kecil lainnya yang sedari tadi mengantri dengan manis mulai meringis menahan tangis. tak rela antriannya direbut. bayang-bayang hadiah yang sudah di depan mata pun terpaksa tertunda.

Peri Hutan tersenyum lebar. ia berusaha memberikan senyuman termanis yang dimilikinya untuk membuat hati si Opa Sinterklas luluh.

“Ah, baiklah... Cepat saja ya, opa masih punya banyak pekerjaan. Masih banyak anak kecil yang mengantri.”, akhirnya Opa Sinterklas, yang untungnya kali ini tidak ditemani Pit Hitam, luluh.

“Asiiiiikkkk....!!!”, pekik Peri Hutan yang terkadang licik ini kegirangan. “Peri Hutan dapat hadiah apa, opa?”, tanyanya sambil memeluk janggut putih Opa Sinterklas, karena lengannya tidak sampai untuk memeluk sosok raksasa tambun si Opa Santa, yang konon jelmaan dari Santo Nicholas dan berasal dari Myra, Turki.

“Hohoho... Peri Hutan... Coba opa lihat catatan opa dulu ya...”, jawab kakek raksasa ini sembari membetulkan letak kacamata bacanya.

“Ah, Peri Hutan... Kau nakal sekali selama setahun ini.”, gumam Opa Sinterklas sambil mendelik ke arah Peri Hutan. “Di dalam catatan opa, kau memburai isi perut si Jagoan Perut Buncit. Kemudian menjambak rambut Peri Gigi sampai copot. Lalu membakar seisi Neverland sampai hangus dan rata dengan tanah. Ckckck, nakal sekali...”, Opa Sinterklas terheran-heran sambil geleng-geleng kepala.

“Nggg... Anu... Itu... Nggg... Aku... Aku tidak sengaja, opa...”, bela Peri Hutan sambil menyatukan kedua telunjuknya. ini biasa dilakukannya ketika ia merasa terpojok dan tak mampu lagi berbuat apa-apa.

“TIDAK SENGAJA???!! Bagaimana mungkin memburai, menjambak, dan membakar kau bilang tidak sengajaaaa??”, hardik Opa Sinterklas yang sudah terbiasa menghadapi anak-anak nakal semacam Peri Hutan.

...

“Hohoho, tapi ya sudahlah... Kau masih harus banyak belajar bagaimana caranya mengendalikan emosimu. Jangan kau ulangi lagi kenakalanmu di tahun depan yah, Peri Hutan yang manis...”, suara menggelegar Opa Sinterklas memecah keheningan. Ia berpesan kepada Peri Hutan sambil menepuk-nepuk kepalanya. Opa sinterklas yang bijaksana, membuat Peri Hutan teringat akan sosok kakeknya yang telah tiada.

“Iya opa... Aku janji takkan nakal lagi. Tapi aku tetap dapat hadiah Natal kan?”, tanya Peri Hutan harap-harap cemas.

“Tentu saja, gadis manis. Di dalam daftar hadiahku, kau mendapatkan... kompas! Supaya kau tidak perlu repot-repot membaca peta dan khawatir tersesat di dalam perjalananmu”, seru Opa Sinterklas sambil menyodorkan kompas mungil berwarna kuning yang telah berhasil ia temukan di dalam karung hadiahnya sambil tersenyum lebar.

“Kompas???!!! Aku dapat... kompas? Tidak bolehkah aku minta hati baruku, opa?”, pinta Peri Hutan sambil memelas.

”Hati barumu?? Ah, sepertinya hati barumu sudah opa berikan kepada orang lain beberapa jam yang lalu. Pada siapa ya? Hmmmm, ah ya! Hati barumu itu sudah opa berikan pada Peri Rambut Pelangi, Peri Hutan...”, jawab Opa Sinterklas sambil mengelus rambut Peri Hutan yang bergelombang.

“...”, Peri Hutan memegang kompas pemberian Opa Sinterklas dengan mulut bergetar menahan tangis. ia tak menyangka hati barunya secepat itu sudah berada di tangan peri lain. ia pikir hati barunya masih setia menantinya di padang rumput di hutan bunga matahari. menanti Peri Hutan hingga mampu mengalahkan pergulatan batinnya sendiri, berdamai dengan masa lalunya.

“Peri Hutan? Sudah yah, opa masih harus membagikan hadiah-hadiah ini untuk anak-anak yang lain.”, tegur Opa Sinterklas melihat Peri Hutan yang sedari tadi melamun di pangkuannya. terdengar rengek tangis bocah-bocah yang mulai tak sabar untuk segera duduk di pangkuan sang kakek raksasa, menerima hadiah Natalnya.

“Ah, iya..iya... Terima kasih untuk kompasnya opa! Dadah...”, seru Peri Hutan sambil melompat turun dari pangkuan Opa Sinterklas, berusaha untuk tidak menangis di depan si kakek raksasa yang telah baik hati memberikannya hadiah Natal, padahal ia sudah sangat nakal selama setahun ini.

Peri Hutan kemudian melanjutkan perjalanannya dengan langkah gontai. untuk kesekian kalinya, ia terpaksa menelan kekecewaan ini lagi sendirian. dan kali ini gara-gara si Peri Rambut Pelangi yang telah mencuri Natal-nya. Natal malam ini terasa jauh lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. di trotoar, seorang pemusik jalanan memainkan lagu “Have Yourself a Merry Little Christmas” dengan saxophone-nya.

ya, ya, ya... have yourself a merry little christmas, Peri Hutan...



“Where do we go from here?
The words are coming out all weird
Where are you now, when I need you...

I need to wash myself again to hide all the dirt and pain
Who are my real friends?
We don't have any real friends

I wish it was the sixties, I wish I could be happy
I wish, I wish, I wish that something would happen[*]

[*] The Bends – Radiohead (The Bends)


N.B : Merry Christmas everyone...

Sunday, December 10, 2006

The Unintended

in.tend / In’tend/ vt 1~ (for), have in mind as a purpose or plan1
un.in.tend.ed : the antonym; something or someone that’s/ who’s not in mind as a purpose or plan
----------------------------------------------------------------------------------

sudah berhari-hari berlalu sejak Peri Hutan pergi meninggalkan semua miliknya di hutan bunga matahari. namun hati barunya masih belum beranjak dari padang ilalang, tempat Peri Hutan biasa terbengang-bengong.

tempat itu kini kosong melompong. hampa, tanpa ada tanda-tanda kehidupan. terutama ketika senja menumpang lewat sejenak di sana. tepat setelah anak-anak yang sedari siang asyik bermain bola dipanggil masuk oleh ibu mereka masing-masing untuk mengerjakan pekerjaan rumah mereka. dan juga tepat setelah kambing-kambing ceking digiring kembali masuk ke dalam kandang. kalau dibiarkan begitu saja di padang sampai malam seperti yang sudah-sudah bisa-bisa mereka kena radang tenggorokan. para pemilik kambing-kambing tersebut tentunya tidak mau ambil risiko. ketimbang melepas bebas kambing-kambing mereka supaya puas bermain-main, lebih baik didekam di kandang dan diberi makan yang banyak biar kelihatan berisi. biar laku dijual nanti menjelang perayaan Idul Adha.

sepinya padang ilalang pun rupanya tak terlalu menarik perhatian seisi hutan bunga matahari. memang tak ada waktu untuk memusingkan hal-hal sepele dan remeh-temeh. waktu adalah uang. setiap detik berharga, buat apa pusing-pusing memikirkan padang ilalang yang semakin gersang sejak kepergian si Peri Hutan yang bodoh?

hatinya si Peri Hutan merana. tak kuasa menahan sepi sendiri dan pertanyaan yang selalu sama dari sepotong senja yang lewat; “Mana Peri Hutan?”, atau “Kok sendiri saja?”. si hati baru rindu bernyanyi bersama lagi dengan si Peri Hutan. walaupun suara Peri Hutan sumbang dan kurang enak didengar, rasanya lebih baik menyanyi berdua daripada sendirian.

apa boleh buat, si hati baru harus bersabar. dan kali ini ia terpaksa menyanyi sendirian.

You could be my unintended,
choice to live my life extended

You could be the one I’ll always love
You could be the one who listens
to my deepest inquisitions
you should be the one I’ll always love

I’ll be there as soon as I can
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before

First there was the one who challenged
All my dreams and all my balance
She could never be as good as you

I’ll be there as soon as I can
But I’m busy mending broken pieces of the life I had before
Before you...
” [*]

sementara Peri Hutan sedang duduk mengaso di padang ilalang lain di suatu tempat, sambil memandang sepotong senja yang kebetulan juga lewat di situ. sepotong senja yang ternyata menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang diberikan kepada si hati barunya; “Mana hati barumu?”. hhh, hati baru... tak pernah sekalipun Peri Hutan menyangka ia bakalan banyak memikirkannya akhir-akhir ini. sama tak menyangkanya ketika si hati baru itu meloncat-loncat dengan lincah dari lapak biru di Pasar Jumat ke tangannya, padahal ia tidak sedang memilih-milih hati baru, apalagi sampai berniat untuk membeli. Peri Hutan tak pernah menjawab pertanyaan sang senja. sebagai gantinya, ia hanya tersenyum dan berbisik lirih ketika sang senja telah berlalu, “Bersabarlah hati baru... Suatu saat mungkin kita bertemu lagi... Jika perjalanan kita berujung di jalan yang sama...”

[*] Unintended – Muse (Showbiz)

1 Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (A S Hornby)

Sunday, December 03, 2006

Fake Plastic Neverland

Hidup adalah seperti sebatang pensil.

Hal ini diungkapkan oleh Paulo Coelho dalam buku kumpulan cerita pendeknya, “Like The Flowing River”. Menurutnya, manusia memiliki lima kualitas seperti yang dimiliki oleh sebatang pensil.

Pertama, manusia memiliki kemampuan untuk menciptakan hal-hal yang hebat. Tapi harus diingat bahwa di balik itu semua, ada tangan yang menuntun langkah kita. Kita menyebutnya tangan Tuhan, yang selalu mengarahkan kita kepada kehendak-Nya. Sama seperti pensil yang bisa digunakan untuk menulis atau menggambar. Tentu saja ada tangan yang menggerakannya agar dapat menghasilkan tulisan atau gambar.

Kedua, di dalam hidup ini kita belajar untuk menghadapi kesedihan dan kepahitan. Hal itu akan membuat kita menjadi orang yang lebih baik. Persis dengan pensil yang butuh diraut. Hal itu akan sedikit menyakitkan bagi si pensil, namun setelah itu ia akan lebih runcing daripada sebelumnya dan siap untuk dipakai kembali.

Ketiga, manusia diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Sama halnya ketika kita salah dalam menulis sesuatu, kita dapat menggunakan penghapus untuk mengkoreksinya.

Keempat, apa yang terpenting dari manusia bukan fisiknya, namun apa yang ada di dalamnya. Tak berbeda dengan sebatang pensil. Yang terpenting adalah grafit yang ada di dalamnya, bukan batang kayu yang ada di luar.

Kelima, apapun yang telah kita lakukan di dalam hidup kita selalu meninggalkan bekas. Tak ubahnya dengan pensil, ketika dihapus walaupun sudah hilang, tetap masih menimbulkan bekas pada kertas. Oleh karena itu, kita harus selalu sadar akan apa yang kita lakukan.

***

Peri Hutan melangkah dengan pasti. ia sudah bertekad untuk meringankan beban yang ada di dalam tasnya, meninggalkan masa lalu yang selama ini masih membayang-bayanginya. seakan-akan ada bayang-bayang hitam pekat yang terus menariknya ke dalam kegelapan.

hampir saja Peri Hutan tersesat. maklum, ingatannya akan jalan sangat buruk. walaupun sudah cukup lama tak melewati jalanan ini, tapi akhirnya ia berhasil juga mengingat-ingat jalanan menuju Neverland palsu si Jagoan Perut Buncit.

Neverland-nya masih seperti yang dulu, tak ada perubahan yang cukup berarti. Mungkin karena masih banyak peri-peri lain yang bermain-main di dalam Neverland, jadi sama sekali tak terasa sepi atau tak berpenghuni, walaupun si Buncit Keparat telah lama tak bernyawa.

“Hiiiiyyy...”, angin dingin menerpa leher Peri Hutan, membuat bulu kuduknya berdiri. mungkin saja arwah si Jagoan Perut Buncit tak terima pembunuhnya menginjak-injak Neverland kebanggaannya dengan bebas.

tapi Peri Hutan tak peduli. ia sudah bertekad untuk menuntaskan segalanya. ia tahu telah melakukan kesalahan sewaktu menerima uluran tangan si Jagoan Perut Buncit untuk menemaninya di Neverland palsunya. walaupun sakit karena merasa tertipu dan hampir kehilangan dirinya, ia mensyukuri kejadian ini. ia jadi mampu menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya, apa yang benar-benar ia butuhkan, dan inginkan. setidaknya ia tak sampai seperti peri-peri lain yang sampai sekarang masih terbuai. lagipula hal ini membuatnya menjadi Peri Hutan yang berbeda, yang jauh lebih kuat dan waspada.

ia mulai membuka ranselnya dan mengeluarkan satu per satu barang-barang yang dibutuhkannya. mulai dari setumpuk surat dari Jagoan Perut Buncit di alam baka, sebuah gentong berisi bensin, dan sekotak korek api.

Peri Hutan nyengir lebar. tak sabar membayangkan Neverland palsu milik Jagoan Perut Buncit rata dengan tanah. matanya yang bulat berbinar-binar berubah jadi sipit memicing.

“Hihihihi, asyik... Sebentar lagi Neverland-mu jadi lautan api!”, Peri Hutan terkikik-kikik dengan licik.

ia mulai membuka tutup gentongnya yang agak berkarat, lalu mulai menyiram seluruh permukaan tanah Neverland dengan bensin sambil bersiul-siul riang. Peri Hutan sama sekali tak peduli dengan peri-peri lainnya yang masih bermain-main di sana sambil menyanyi-nyanyi ‘merry go round’ bagai domba yang dicucuk hidungnya. biar saja, toh harus ada sesuatu yang kita korbankan untuk mencapai kebaikan bagi banyak orang, batinnya. dan situasi yang paling baik saat ini adalah menghindari bertambah banyaknya jumlah peri-peri yang tersihir oleh pembawaan si Buncit Keparat yang kharismatik.

hhh, sayang sekali, mereka tak dapat diselamatkan, kata Peri Hutan dalam hati. ia menggeleng-gelengkan kepalanya tanda menyesal sambil melihat puluhan peri-peri bodoh bermain-main dengan riang di atas komidi putar, bianglala, dan halilintar. andai saja mereka tahu apa yang akan terjadi pada mereka beberapa menit ke depan, batinnya lagi.

“Ucapkan selamat tinggal pada hidup kalian, peri-peri... Dan kau Buncit Ng*he, semoga kau terbakar di neraka...”, ucap Peri Hutan sambil membakar surat-surat dari si Jagoan Buncit yang ada di tangannya dengan korek dan menjatuhkannya ke tanah. api dengan cepat menjalar ke mana-mana. meledakkan komidi putar, bianglala, halilintar, dan segalanya yang ada di sana. ratusan lidah api berjilatan. puluhan peri-peri yang bodoh menjerit panik, kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri mereka. tak terbayang betapa panasnya di sana.

“I’m falling down
Five thousand houses burning down
No-one is gonna save this town

Too late
I already found what I was looking for
You know it wasn’t here
No it wasn’t here

I was calling your name
But you would never hear me sing
You wouldn’t let me begin
So I’m crawling away
'Cause you broke my heart in two
No, I will not forget you

Too late
I already found what I was looking for
You know it wasn’t you
No, it wasn’t you

Falling down
Now the world is upside down
I’m heading straight for the clouds” [*]

Peri Hutan tersenyum puas. belum pernah ia merasa selega ini dalam hidupnya. ia puas melihat Neverland palsu si Buncit Keparat sudah rata dengan tanah. gosong. yang tersisa hanya plang nama “Neverland Milik Jagoan Perut Buncit” yang telah roboh dan nyaris tak terbaca, yang tergeletak tak jauh dari pintu masuk.

Peri Hutan sadar betul apa yang telah dilakukannya. dan ia telah menerima hal ini sebagai bagian dari hidupnya yang takkan bisa terhapuskan.

[*] Falling Down – Muse (Showbiz)


Saturday, November 25, 2006


Malaikat Tanpa Sayap di Sebuah Pesta

Malaikat mendatangiku semalam di pesta,
dengan sayap dan pakaian putihnya…

Sementara si kurcaci penabuh genderang
bersimpuh membelai seonggok daging yang mengerang,
sesosok malaikat tanpa sayap di sebuah pesta,
di bulan November yang penuh sengketa…

Tertawa, mengerang, terbahak-bahak, mengerang...

Malaikat mendatangiku semalam di pesta,
dengan sayap dan pakaian putihnya…

Ia tanyai mau apa aku…

Dan aku menjawab,
Bangsat!
Aku cuma kepingin terbang…

[25.11.06]

Wednesday, November 22, 2006

Oh Lately It’s So Quiet…

benar juga kata Brian May (gitaris kelompok Queen.red), Too Much Love Will Kill You, yang merupakan judul sebuah lagu yang diambil dari album solonya Back to The Light, Juli 1992.

tenggelam di dalamnya sampai membuat kita sesak napas. dan yang bisa kita lakukan hanya berenang-renang dan menunggu kematian yang bisa sewaktu-waktu menjemput. tapi sampai sekarang sepertinya belum ada yang berhasil menemukan cara untuk mencegah atau menghindarinya. memang tak ada cara lain selain menikmatinya, karena perasaan ini, konon, perasaan getir yang paling indah, yang tak terjadi setiap saat. sebuah anugerah yang paradoks. dan hanya orang-orang terpilih saja yang bisa merasakannya, yang membuka hatinya untuk itu.

Peri Hutan masih melanjutkan perjalanannya yang penuh kesunyian. orang lain mungkin sudah bosan dan memilih pulang ke rumah untuk tidur di tempat tidur yang empuk sambil berharap ketika terbangun keesokan harinya semua yang dialaminya adalah mimpi buruk. tapi Peri Hutan tidak melakukannya. ia menikmatinya. menikmati setiap inci langkah kakinya. meresapi setiap ketenggelamannya. terjebak dan kedinginan di dasar laut.

dan kali ini sepertinya lebih dalam dari sebelumnya. karena Peri Hutan benar-benar terpuruk dan tak tahu bagaimana caranya keluar, seperti pelaut yang kapalnya terombang-ambing terhempas badai. tanpa kompas. tanpa bintang yang selama ini menjadi penuntun arah karena tertutup kabut dan awan tebal. tak ada secercah harapan. entah bagaimana caranya kembali. lagipula hal itu juga sudah tak mungkin lagi ia lakukan, mengingat ia telah meninggalkan semuanya di belakang. dan kembali lagi ke hutan bunga matahari saat ini takkan menyelesaikan masalah. ia hanya akan bersembunyi dan berpura-pura. dari dirinya dan hatinya.

ah, sungguh sepi dan sunyi akhir-akhir ini… mungkin ini adalah saat-saat yang langka, yang tak bisa lagi dinikmatinya di lain waktu ketika badai ini telah berlalu. saat-saat ketika orang di sekitarnya meributkan banyak hal dan Peri Hutan hanya bisa mendengar suara-suara itu dari kejauhan. samar-samar dan jauh dari dirinya dan dunianya yang tak bisa dimasuki oleh siapapun. Peri Hutan kembali terbengang-bengong walaupun kali ini tanpa cengangas-cengenges…

"(Oh no) Oh lately it's so quiet in this place
You're not 'round every corner
(Oh no) Oh lately it's so quiet in this place
So darlin' if you're not here haunting me
I'm wondering...
Whose house, are you haunting tonight?
Aw. Whose sheets you twist
Aw. Whose face you kiss
Whose house, are you haunting tonight?
(Oh no) I dont think much about you anymore
You're not on every whisper, oh
(Oh no) I dont think much about you
But if you're not lurking behind every curtain
I'm wondering..." [*]

[*] Oh Lately It’s So Quiet – OK Go (Oh No Album)

Sunday, November 19, 2006

And The Journey Begins...

perjalanan panjang telah dimulai. sudah tak ada jalan untuk kembali. Peri Hutan melangkahkan kakinya tak tentu arah. tak ada bintang di langit, seolah bersembunyi, tak ingin dilihat oleh Peri Hutan. membiarkan ia berjalan seorang diri dan kesepian di malam yang semakin dingin dan mencekam. “ah, andai aku punya teman seperjalanan!”, batin Peri Hutan. tapi keputusan telah diambil dan menyesal kemudian tak ada gunanya.

akhirnya Peri Hutan sampai di kampung seberang. setelah perjalanan yang cukup melelahkan tentunya. Peri Hutan memutuskan untuk berhenti. selain melepas lelah, ia juga butuh merasakan adanya kehadiran orang lain. untuk meyakinkan dirinya, ia tak seorang diri di dunia ini. walaupun tak satu pun penduduk kampung ini yang ia kenal. hanya dengan melihat mereka saling berinteraksi saja sudah cukup bagi Peri Hutan. setidaknya masih ada kehidupan di sekelilingnya. setidaknya ia takkan mati perlahan-lahan di dalam sepi dan kekosongan.

rupa-rupanya Sore diundang oleh Pak Lurah untuk menghibur penduduk kampung dalam rangka sunatan massal di balai desa. dan seperti biasa Ade Paloh cs. menyanyikan kesenduan malam ini bagi Peri Hutan dengan suara serak. diiringi rintihan saxophone yang terasa semakin mengiris. pedih dan getir.

takkan ada lagi hari di mana ia duduk-duduk menghabiskan sore di ayunan reyotnya sambil menyulam hati barunya. juga hari di mana ia bercerita dengan si Kurcaci Penabuh Genderang sambil makan stik keju kering dan minum susu coklat di pinggir sungai. atau hari di mana ia berguling-guling kesenangan bermain bersama peri-peri bodoh yang ia sayangi.

dan lagu ini melantun merdu mengisi kekosongan di dalam hati Peri Hutan...

“Jauh perjalanan mencari intan pujaan
Aduhai, di mana tuan, mengapa pergi tanpa pamitan?
Lembah kuturuni, bukit yang tinggi kudaki
Aduhai, tak kunjung jumpa mengapa hilang tak tentu rimba?
Embun hempaskanku padanya,
bintang tunjukkan arah,
ooh, angin bisikkanlah malam ini...
Hati cemas bimbang, harapan timbul tenggelam
Aduhai, permata hati mungkinkah kelak berjumpa lagi?”
[*]

[*] Pergi Tanpa Pesan – Sore (Centralismo)

Tuesday, November 14, 2006

Selamat Tinggal Hutan Bunga Matahari

masih ingat kata-kata kunci ini : “ untuk menemukan seseorang atau sesuatu yang kau cintai, kau harus menemukan dirimu sendiri terlebih dahulu?”

setiap orang di dunia ini pasti melakukan perjalanan panjang untuk menemukan dirinya sendiri. untuk menemukan tujuan hidupnya serta apa dan siapa yang mereka butuhkan, agar tetap dapat bertahan hidup. walaupun pada akhirnya keadaan memaksa kita untuk sendiri.

hal inilah yang membuat Peri Hutan memutuskan untuk benar-benar mewujudkan impiannya meninggalkan hutan bunga matahari dan semua yang ia miliki. kali ini dalam jangka waktu yang cukup lama. toh ia sudah pernah hampir melakukannya beberapa waktu yang lalu, mengapa tidak sekalian benar-benar diwujudkan saja? pergi jauh dari keramaian; agar dapat berpikir jernih. banyak orang hanya berhenti pada wacana tanpa aksi. tapi Peri Hutan memberanikan dirinya meninggalkan rumah pohon tua, ayunan reyot, koleksi seribu mahkota untaian bunganya, serta Kurcaci Penabuh Genderang, Beruang Madu Muka Datar, dan peri-peri lainnya yang sudah menemani Peri Hutan sepanjang hidupnya dan juga sangat ia sayangi.

tapi tak jadi soal. ia yakin orang-orang yang sungguh-sungguh menyayanginya akan menemukannya kembali. menariknya ke jalan yang seharusnya ia tempuh di dalam perjalanan penuh kesunyian ketika ia tiba-tiba tersesat, karena sesungguhnya Peri Hutan tak punya peta atau kompas. selama ini ia hanya mengandalkan hatinya sebagai petunjuk jalan. penuntun langkahnya ketika ia tak tahu mau ke mana, walaupun pada akhirnya dirinyalah yang memilih dan menentukan keputusan akhir. demikian pula sebaliknya, Peri Hutan pasti bisa menemukan kembali orang-orang yang sungguh ia sayangi dan menarik kembali ke jalan yang seharusnya ketika mereka tersesat.

Peri Hutan percaya apa yang ia lakukan pasti berpengaruh kepada kehidupan orang lain. ketika kali ini ia memutuskan untuk menemukan siapa dirinya yang sesungguhnya, mungkin saja orang-orang lain di sekitarnya juga melakukan hal yang sama. karena sesungguhnya setiap manusia belajar dengan bercermin, bagai mengepas-ngepas baju baru di depan kaca. melihat cerminan dirinya pada manusia-manusia yang lain dan berubah menjadi seseorang yang lebih baik tanpa harus menjadi orang lain.

hari ini Peri Hutan bangun pagi-pagi sekali sebelum seluruh penghuni hutan bunga matahari terjaga dan melakukan rutinitas mereka. ia sudah siap dengan ransel kecil, topi jaring-jaring bodoh, dan kamera poketnya. di depan pintu rumah pohonnya juga sudah ditempelkan pesan untuk si Kurcaci Penabuh Genderang. isinya Peri Hutan menitipkan rumah itu beserta seluruh isinya dan juga ayunan reyotnya sampai ia kembali lagi nanti suatu saat. juga pesan bahwa ia akan baik-baik saja di mana pun ia berada; bahwa Kurcaci Penabuh genderang tak perlu khawatir.

setidaknya kali ini ia tidak pergi tanpa pesan, seperti yang pernah dilakukannya beberapa waktu yang lalu. walaupun hanya sebentar, perbuatannya itu menimbulkan kekacauan dan mempengaruhi hidup banyak orang lain yang menyayanginya tanpa ia sadari. hanya karena kerewelan dan keegoisannya yang menganggap bahwa tak ada satu pun di dunia ini yang peduli dan sayang padanya. sungguh peri yang bodoh! untung ada si Kurcaci Penabuh Genderang. ia yakin sahabatnya itu akan memahami setiap keputusan yang diambilnya, walaupun tidak sepenuhnya ia mengerti. meski di dalam hatinya cemas, paling-paling si Kurcaci Penabuh Genderang hanya akan cengangas-cengenges dengan wajah belernya dan menanyakan dari mana saja Peri Hutan selama itu. lalu mereka akan bermain-main lagi seperti biasa sambil bercerita apa yang telah mereka alami ketika terpisah tanpa perlu dipaksakan.

Peri Hutan tersenyum puas. setidaknya kali ini ia pergi bukan karena ketakutan semu yang tak beralasan; bukan karena ia merasa tak ada satu pun yang menyayanginya. Peri Hutan benar-benar tak tahu mau ke mana, namun hatinya menuntunnya untuk pergi ke padang ilalang, tempat biasa ia terbengang-bengong menikmati sepotong senja yang lewat dan hembusan angin sepoi-sepoi, hanya ditemani oleh hati barunya itu.

ia tahu tak lama lagi ia akan meninggalkannya di padang ilalang itu. sampai kapan? Peri Hutan tidak tahu. yang pasti sampai hatinya tak lagi bimbang dan mampu menemukan jalannya sendiri. menemukan siapa atau apa yang hati barunya butuhkan. kebingungan dan keegoisan hanya akan menorehkan luka bagi orang-orang di sekitar kita, selain akhirnya pada diri sendiri. apalagi sampai memutuskan sesuatu yang berkaitan dengan hidup orang lain di saat hati bimbang dan tak tentu arah. tidak akan membawa kebahagiaan bagi siapapun.

Peri Hutan beranjak dari padang ilalang sambil menggendong ransel kecil di punggungnya dan memakai topi jaring-jaring bodohnya. ia berjalan lurus dan berusaha tidak menoleh ke belakang. perjalanan akan terasa semakin sulit dan berat jika itu dilakukannya. atau mungkin saja takkan ada perjalanan, karena Peri Hutan tidak sanggup melanjutkannya dan meninggalkan semua yang ada di belakang. terjebak di dalam situasi yang sama dengan hatinya yang bimbang; ditambah lagi dengan rutinitas di hutan bunga matahari yang semakin lama terasa semakin menjemukan.

terkadang hidup memang jauh lebih ringan ketika tak punya apa-apa, karena toh kita takkan kehilangan apapun. menjalani hidup tanpa risiko kehilangan sesuatu yang kita anggap kita miliki. menjalani hari-hari yang tersisa tanpa beban. memang sudah saatnya Peri Hutan melakukan sesuatu tanpa takut pada kegagalan.

“Whenever you need a home I will be there...
Whenever you're all alone And nobody cares...
You're just a poor misguided fool,
who thinks they know what I should do...
A line for me and a line for you
...

Whenever you reach for me,
I'll be your guide
Whenever you need someone
to keep it inside...” [*]

[*] Starsailor – Poor Misguided Fool (Love is Here)

Saturday, November 11, 2006

Kegemparan di Hutan Bunga Matahari

tak perlu mendatangkan Flea/ Michael Balzary (bassist kelompok Red Hot Chilli Peppers.red) atau Rachel Maryam untuk membuat seorang Kurcaci Penabuh Genderang kebakaran jenggot. cukup dengan menjadi sahabatnya dan menghilang selama satu setengah hari, sudah dapat melihat si Kurcaci Penabuh Genderang menimbulkan kegemparan di hutan bunga matahari.

Peri Hutan tak menyangka efek yang ditimbulkan akibat kepergiannya memancing kemarin begitu besar bagi orang-orang di sekelilingnya. semua yang disayanginya tiba-tiba ada di hutan bunga matahari. komplit! ada Beruang Madu Muka Datar dari gua lembah madu dan juga seluruh peri-peri bodoh favoritnya, yang tinggal di negeri yang beraneka ragam.

semua yang tadinya panik, was-was, dan tegang segera dalam hitungan detik berubah menjadi bermacam ekspresi. ada yang lega, senang karena Peri Hutan kembali ke hutan bunga matahari tanpa kurang suatu apa, ada juga yang kesal, sedikit terganggu karena mengira Peri Hutan hanya mencari perhatian.

“He! Dari mana saja kau Peri Hutan?”, sambut si Beruang Madu Muka Datar dengan muka yang tentu saja datar.

“Tak tahukah kau kami sangat mencemaskanmu?”, timpal salah satu dari peri yang sangat disayanginya, yang jauh-jauh datang dari negeri kue lapis.

“Hee, maaf teman-teman… Aku pergi memancing kemarin…”, sahut Peri Hutan sambil menggaruk-garuk kepalanya; salah tingkah.

“Ah, dasar peri yang aneh! Kami kira kau diculik… Tapi kau baik-baik saja kan?”, tanya peri yang tinggal di negeri getuk lindri.

“Iya, Peri Getuk Lindri… Aku baik-baik saja kok…”, jawab Peri Hutan sambil tertunduk.

“Lebih baik kau datangi Peri Kue Bola… Ia marah sekali padamu…”, bisik peri dari negeri lolipop.

Peri Hutan segera mendatangi Peri Kue Bola yang sedari tadi tak mau melihat dan menyapanya.

“Peri Kue Bola, maafkan aku…”, pinta Peri Hutan dengan suara memelas sambil memain-mainkan kedua tangannya.

“Huh…”, Peri Kue Bola hanya melengos.

“Peri Kue Bola…”, panggil Peri Hutan dengan suara tercekat. air matanya nyaris tak dapat terbendung lagi.

Peri Kue Bola yang pada dasarnya tidak pendendam langsung luluh. ia langsung iba melihat ketulusan Peri Hutan yang meminta maaf padanya.

“Iya, Peri Hutan… Aku maafkan. Tapi lain kali jangan berlaku seperti ini lagi yah… Kau membuat semua orang yang menyayangimu panik. Kurcaci Penabuh Genderang sangat bersedih ketika tahu kau tak ada. Ia langsung menghubungi semua orang yang mengenalmu.”, kata Peri Kue Bola sambil mengelus-elus rambut ikal Peri Hutan.

“Coba kau lihat di setiap batang pohon yang ada di hutan bunga matahari. Kurcaci Penabuh Genderang khusus membuat selebaran itu sebagai upaya menemukan dirimu, Peri Hutan...”, lanjut Peri Kue Bola.

benar saja, ternyata di setiap batang pohon di hutan bunga matahari tertempel selebaran-selebaran dengan foto Peri Hutan di atasnya. ia tak memperhatikannya tadi.

segera Peri Hutan mengambil salah satu selebaran yang tertempel. begini isinya :

DICARI!!!
PERI HUTAN a.k.a Malaikat yang Lucu dan Menyenangkan
[the world's most wonderful-talented-dodol-rewel person ever alive]

Ciri-ciri:
Peri Hutan bodoh tukang bengang-bengong cengangas-cengenges
yang punya ketawa licik dan rambut yang bagus

Bagi yang menemukan, harap segera hubungi :
KURCACI PENABUH GENDERANG
di dalam batang pohon oak


Peri Hutan langsung berderai air mata. ia tak menyangka sahabatnya yang beler itu mau bersusah payah mencari dirinya. segera ia berlari ke arah sungai, sambil masih menggenggam selebaran itu di tangannya. sesuai dugaannya, si Kurcaci Penabuh Genderang sedang duduk termangu sambil memangku Tigger, kucing hutan miliknya, dengan wajah sedih di bangku kayu, ditemani stik keju kering dan susu coklat. menunggu Peri Hutan kembali, entah kapan.

“Kurci Maruciiiii!!!!”, teriak Peri Hutan sambil terengah-engah. Kurcaci Penabuh Genderang tak percaya akan pendengarannya, tapi ia mengangkat wajahnya yang sejak tadi tertunduk ke arah asal suara yang memanggilnya.

“Peri Hutan???!!”, Kurcaci Penabuh Genderang melongo, melihat sahabatnya yang sudah beleleran air mata di hadapannya.

“Maafkan aku Kurci… Aku sudah membuatmu susah sejak kemarin. Janji, aku takkan pergi lagi tanpa pamitan padamu. Aku sayang sekali padamu, Kurci…”, isak Peri Hutan sambil memeluk sahabatnya yang langsung tersenyum lega, menyambut peri bodoh kesayangannya yang kembali dengan selamat di hutan bunga matahari.


[*] inspired by anakpenyuileran.blogspot.com

Thursday, November 09, 2006

Titik Awal yang Tak Bermula di Titik Nol

"A heart that's full up like a landfill,
a job that slowly kills you,
bruises that won't heal.
You look so tired-unhappy,
bring down the government,
they don't, they don't speak for us.
I'll take a quiet life,
a handshake of carbon monoxide,

with no alarms and no surprises,
no alarms and no surprises...
no alarms and no surprises...

Silent silent." [*]

mungkin ini yang kira-kira dirasakan oleh si Peri Hutan selama kurang lebih dua minggu terakhir. persis seperti yang dirasakan oleh tukang sayur yang mendorong gerobak sambil menjajakan dagangannya dari kampung seberang menuju hutan bunga matahari yang menanjak. sudah berpeluh keringat menahan beban di gerobak, dicaci maki pula oleh Tante Jamur Pesolek dan Tante Kelinci Mulut Usil yang selama ini bagaikan duet maut dalam bergosip dan mencibir, serta tante-tante lainnya yang tak pernah puas, yang selalu mengomentari apapun yang lewat di depan batang hidungnya.

padahal "kesalahan" si tukang sayur hari ini hanya karena jengkol pesanan si Tante Jamur Pesolek dirasakan kurang segar oleh si pemesan.

"Bang, layu amat sih ini jengkol!", Tante Jamur Pesolek membuka percakapan dengan wajah sepet.

"Iya nih, Bang... Idiiihh, mana baunya kayak ikan asin. Diketekin sama Abang ya? Hayoo... ngaku!!", repet Tante Kelinci Mulut Usil memanas-manasi sambil mengernyit dan mengibas-ngibaskan udara di sekitar hidungnya.

"Ha? Nggak kok, Tante... Beneran deh...", si tukang sayur cepat-cepat menjawab sambil menggaruk-garuk kepala. heran akan makhluk-makhluk yang harus dihadapinya di hutan bunga matahari yang akhir-akhir ini mudah marah dan terganggu emosinya. ah, betapa dongkolnya!

entah tren apa yang sedang menyerang hutan bunga matahari. atau mungkin juga ini memang sudah kenyataan yang ada, hanya saja Peri Hutan yang baru menyadarinya sekarang. ketika ia mulai dituntut untuk lebih serius dan bertanggung jawab tidak hanya pada dirinya sendiri, tetapi juga terhadap masyarakat sebagai bagian daripadanya.

tak ada sahabat sejati. yang ada hanya sekutu dengan tujuan yang sama. orang-orang begitu cepat berubah dari kawan menjadi lawan ketika sudah tak sepaham lagi. semuanya menuntut banyak hal dalam waktu yang sangat sempit, seakan-akan isi hidup ini hanya berlari-lari di sebuah roda mainan hamster di dalam kandang, sampai kita lelah dan tak kuat lagi bernapas.

Lutung Lemes Rambut Kribo yang pelitnya minta ampun mendadak tak lagi lemas ketika berurusan dengan uang. Liliput Cadel sangat senang menyuruh-nyuruh orang lain melakukan sesuatu yang sebenarnya mampu dilakukannya sendiri. Tupai Monyong Tukang Manyun dan Monyet Berponi Penggerutu merengek-rengek sepanjang hari minta dilayani semua keinginannya, membuat gerah seisi hutan bunga matahari. Kodok Cabul yang paling getol bersenang-senang tanpa harus mengeluarkan sepeser pun, juga Pohon Beringin Muka Teduh yang tiba-tiba berubah menjadi makhluk sok penting yang sangat menyebalkan. ditambah lagi si Sigung Muka Dua yang dari luar terlihat sangat ramah dan bersahabat, padahal di dalam hatinya menyimpan dengki dan terlalu banyak menuntut. rupa-rupanya wajah manis tak berdosa belum bisa menutupi bau busuk kentutnya!

Peri Hutan tak suka aturan. terlebih yang tidak masuk akal dan tak bisa diterima oleh logika. mungkin ini yang membuatnya pusing tujuh keliling. ia lebih memilih untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri ketimbang bertanggung jawab terhadap masyarakat sontoloyo yang bisa seenak udelnya menentukan mana yang salah dan mana yang benar. lalu melegitimasikannya sebagai suatu kebenaran mutlak hanya karena mayoritas menyetujuinya. dasar makhluk primitip tak punya prinsip! hanya bisa ikut-ikutan supaya hidupnya enak. supaya tak perlu mikir yang susah-susah. toh hidup ini sudah susah, buat apa dibikin tambah susah? mungkin itu yang dipikirkan oleh para penghuni hutan bunga matahari.

cukup sudah seluruh makhluk di hutan bunga matahari bertingkah! meninggalkan Peri Hutan yang berusaha bertanggung jawab terhadap masyarakat seorang diri, kerepotan mengurus semuanya. padahal mereka yang tadinya berkoar-koar kini tak melakukan apa-apa.

mungkin memang lebih baik Peri Hutan benar-benar menyingkir dari hutan bunga matahari. meninggalkan rutinitasnya yang terasa begitu membosankan. melewatkan kesempatan datang ke pasar malam yang digelar tiap bulan di sana, dengan gulali, komidi putar, dan badut yang itu-itu lagi. menitipkan ayunan reyot dan rumah pohon tuanya pada si Kurcaci Penabuh Genderang. mencari ketenangan dalam perjalanan panjang yang selalu ingin dilakukannya, namun sampai sekarang tak pernah berhasil dilaksanakan. perjalanan santai tanpa diburu-buru oleh apapun, siapapun, bahkan oleh dirinya sendiri. tak terikat waktu, tanggung jawab, dan tuntutan mengada-ada dari masyarakat sekitar. mungkin dengan begitu ia dapat bernapas dengan lega dan menemukan tujuan hidup yang sebenarnya, yang selama ini dicarinya.

berjalan ke mana kaki melangkah di dalam kesunyian yang menenangkan. tanpa maniak yang memeras dirinya hanya untuk keuntungan pribadi mereka. hanya dirinya, ransel kecil, topi jaring-jaring bodoh, dan kamera poket...

[*] No Surprises -- Radiohead (OK Computer)
Let’s Go Fishing at The Island in The Sun!

“keep fishin’
If you feel it’s true...
There’s nothing much that
we can do to save you
from yourself...

Waste my days, drown aways
It’s just the thought of you
in love with someone else
it breaks my heart to see
you hangin’ from a shelf”
[*]

entah apa yang ada di pikiran Peri Hutan ketika pagi ini ia mengepak ransel kecilnya. tiba-tiba saja terbersit dalam benaknya untuk kabur dari semua makhluk di hutan bunga matahari yang menyusahkan dirinya akhir-akhir ini. mencari-cari dirinya hanya untuk menambah pekerjaan yang tak seharusnya ia lakukan. kabur tanpa kabar tentunya. biar semua gempar. “Rasakan pembalasanku!”, batin Peri Hutan sambil tertawa licik di depan lemari kayu jati tua kepunyaan mendiang kakeknya, sambil mengepak pakaian secukupnya.

ia sudah tidak tahu lagi apa yang ia masukkan ke dalam ransel kecilnya. apakah itu akan berguna atau tidak baginya di dalam perjalanan, ia juga tidak peduli. karena ia tak tahu pasti tujuan kepergiannya hari ini. yang penting ia bisa melepaskan kepenatannya, pergi jauh dari banyak orang yang menuntut macam-macam darinya, dan ranselnya penuh terisi. sama seperti perutnya yang sudah penuh terisi dengan roti keju dan susu coklat kesukaannya.

Peri Hutan pergi dengan pikiran kalut. perasaan yang bercampur-aduk antara merasa bodoh dan tak berguna, kesepian, ditinggal sendirian tanpa satupun yang mencintai dan membutuhkannya. di otaknya sama sekali tak terpikir untuk meninggalkan pesan buat si Kurcaci Penabuh Genderang. ia hanya berjalan dan terus berjalan sambil berusaha meredakan pikiran-pikiran yang berkecamuk di dalam benaknya. benar kata orang, musuh yang paling sulit ditaklukan bukan monster naga atau babi ngepet, tapi diri kita sendiri!

tak terasa sudah delapan jam ia berjalan tanpa henti dan beristirahat. ia sudah sangat jauh dari hutan bunga matahari. di sekelilingnya terhampar padang rumput yang luas, dengan tumbuhan dan bunga liar, serta sedikit semak belukar. ingin rasanya Peri Hutan berlari-lari di atas padang rumput itu dan berguling-guling dari atas bukit. warna rumput di sini jauh lebih segar ketimbang rumput di padang ilalang yang ada di hutan bunga matahari. ah, memang rumput di halaman tetangga terkadang jauh lebih hijau jika dibandingkan dengan rumput di halaman sendiri! jauh di bawah ada anak-anak kampung yang sedang asyik bermain bola dan layangan. teriakan-teriakan riang mereka terdengar sampai ke atas bukit. Peri Hutan menatap jauh ke langit. matahari bersinar cerah dan layangan-layangan yang sedang dimainkan oleh anak-anak kampung itu meliuk-liuk dipermainkan angin. menghiasi langit yang biru dengan warna-warni cerah. membuat Peri Hutan teringat akan gulali warna-warni yang manis atau lampu neon yang berkelap-kelip di pasar malam.

Peri Hutan mampir ke dalam sebuah gubug. bercakap-cakap dengan bapak tua bernama Ki Sapu Jagat yang ada di sana, sambil minum teh manis hangat dan pisang goreng yang masih panas karena baru diangkat dari penggorengan. main kejar-kejaran dengan anak si Ki Sapu Jagat yang manis dan menyenangkan, yang rambutnya sependek dan seikal dirinya. memancing bersama Ki Sapu Jagat di empang belakang gubugnya, sambil berteriak-teriak kegirangan. seumur hidupnya, belum pernah sekalipun Peri Hutan pergi memancing dan hari ini pasti akan menjadi hari yang takkan pernah dilupakannya. akan selalu membekas di ingatannya. Lalu Peri Hutan makan malam bersama dengan keluarga yang menyenangkan itu dengan ikan hasil pancingan yang digoreng oleh istri si bapak tua di bale-bale. dan tidur-tiduran di bale-bale itu sambil memandangi bintang-bintang di langit dan kunang-kunang yang terserak di atas pematang sawah. dengan cahaya yang berjalan-jalan di tiap ujung batang ilalang.

Peri Hutan memejamkan matanya. meresapi udara malam yang dingin dan kepergiannya yang nyaris sempurna. sepertinya ada sesuatu yang terlupa. bukan topi jaring-jaring bodohnya, tapi sesuatu yang lebih penting. entah apa, namun yang pasti perasaannya mengatakan ada sesuatu yang salah. ia tidak boleh pergi dengan cara seperti ini. mungkin besok atau lusa, ia harus kembali. menyelesaikan segala tetek bengkak di hutan bunga matahari.

lamat-lamat cahaya pudar dan terserap ke dalam lubang hitam di mata Peri Hutan yang terpejam. menjadi titik-titik cahaya kunang-kunang di alam mimpi Peri Hutan yang tenggelam di dalamnya dan tertidur pulas sendirian...

[*] Keep Fishin’ – Weezer (Maladroit)

Monday, October 23, 2006


Pertemuan Susu Coklat dan Stik Keju Kering

Akan tiba hari
ketika pagi terkenang-kenang akan malam,
seperti matahari merindukan bulan…
dan susu coklat dengan stik keju kering,
menunggu di tempat biasa untuk berkisah bersama…

[00.33]

akhir-akhir ini orang-orang di hutan bunga matahari terlalu sibuk dengan dirinya sendiri. entah itu benar-benar sibuk atau sibuk yang dibuat-buat. jaman sekarang memang ada-ada saja cara-cara orang untuk menghindari sesuatu yang seharusnya lebih penting untuk dilakukan dengan pura-pura sibuk. perubahan dijemput oleh waktu yang berlalu dan yang bisa kita lakukan hanya menerima kedatangannya seperti tamu tak diundang dan berusaha menyesuaikan diri dengannya.

Panta Rei : tak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri. keabadian memang hanya ada di dalam dongeng Upik Abu, bukan dongeng Peri Hutan. sebenarnya Peri Hutan sudah tahu akan hal itu. hanya saja ia ingin membuktikan bahwa ada beberapa hal di dalam hidup yang akan tetap sama walaupun waktu telah berlalu dan tren telah berganti. seperti kecintaannya terhadap pasar malam yang berisi lampu neon warna-warni, permainan komidi putar, dan gulali warna-warni yang manis, atau ayunan tua reyot di depan rumah pohonnya. makanya ia tak terlalu ambil pusing ketika orang-orang di hutan bunga matahari mencemooh dirinya yang hanya bisa duduk-duduk santai sambil bengangbengong. menuduhnya makhluk tak berguna yang selama ini hanya menjadi sampah masyarakat. mencibirnya yang tak mau ikut ambil bagian dan memilih untuk menunggu sepotong senja yang lewat sambil bermain ayunan ketika seisi hutan bunga matahari berlomba-lomba mencari-cari dan memiliki kesibukan yang semu. padahal mereka tidak tahu, Peri Hutan juga bisa berguna untuk masyarakat tanpa berpura-pura sibuk seperti makhluk-makhluk lainnya yang munafik.

selain mempertahankan kecintaannya terhadap pasar malam dan ayunan reyotnya, Peri Hutan juga ingin membuktikan pertanyaan ini : adakah dua orang yang benar-benar bisa terus berjalan berdampingan tanpa merasa bosan hingga waktu yang mereka miliki habis? atau mungkinkah lama-kelamaan kebersamaan yang ada terasa semu? lama-kelamaan ada sesuatu yang entah apa hilang diantara keduanya dan pilihan yang tersisa hanyalah berpura-pura ketidakbahagiaan itu tak pernah ada dan mati-matian mempertahankannya karena yakin ada sesuatu yang lebih penting dibandingkan ego keduanya, atau berpisah dan berjalan sendiri ketika semuanya sudah tak mungkin lagi disatukan. bisa karena kebisingan atau malah kesunyian yang menghancurkan. mungkin terlalu sering bersama membuat manusia tidak lagi dapat menghargai arti kebersamaan yang sesungguhnya. mungkin dengan jarang bersama manusia malah bisa lebih saling menghargai satu sama lain dan mengucapkan hal-hal yang memang pantas dan perlu untuk diucapkan.

sebenarnya Peri Hutan benci menjadi skeptis dan pesimis. tapi apa daya kepercayaan itu mahal harganya. jauh lebih mahal daripada stik drum si Kurcaci Penabuh Genderang yang terbuat dari kayu ceddar. dan lagipula benda bernama kepercayaan itu tidak dijual sembarangan, apalagi sampai diobral di lapak-lapak berwarna biru.

setidaknya ia pikir masih ada harapan. karena ia selalu percaya akan kata-kata ini : “Kalaupun hanya satu orang yang berubah, seluruh umat manusia ikut berubah.” (Paulo Coelho – The Zahir). masih ada si Kurcaci Penabuh Genderang yang setia menemaninya bermain dan tak peduli dengan perkataan ataupun perbuatan makhluk-makhluk munafik yang ada di hutan bunga matahari. tapi mungkin dugaan itu salah. si Kurcaci Penabuh Genderang ternyata juga sedang sibuk dengan dirinya sendiri akhir-akhir ini. Peri Hutan jadi khawatir dan murung. sunyi sekali kehidupan di hutan bunga matahari akhir-akhir ini tanpa kehadiran sahabatnya itu. semua orang terus mengoceh di depannya dan Peri Hutan hanya menatap mereka dengan tatapan kosong. kali ini tidak ada teman untuk menertawai kebodohan dan keterlalunormalan seisi hutan bunga matahari.

Peri Hutan hanya bisa duduk sedih sambil memandangi tanah. disaksikan oleh susu coklat dan stik keju kering yang tadi dibawanya untuk teman mengobrolnya dengan si Kurcaci Penabuh Genderang seperti biasa. mungkin memang sudah takdirnya, sampai mati tidak menemukan orang yang bisa dan mau mengimbanginya. sahabatnya saja bisa jadi sudah tidak tahan berteman dengan dirinya yang bodoh dan aneh, mana mungkin ada makhluk lainnya yang mau melakukan hal-hal yang lebih daripada itu?

sudah sore. Peri Hutan bangkit, meninggalkan susu coklat dan stik keju kering yang tadi dibawanya di meja kayu dekat sungai, menuju rumah pohonnya. tak ada piknik hari ini. juga Kurcaci Penabuh Genderang.

Sunday, October 22, 2006


Puisi berBUNTUT untuk si gendutBULU


Bulu-bulu itu menggumpal,
beradu dengan suara menggerundal
Membuat para tetangga sebal
dan bibik melempar sandal
Tapi si buntut bulu yang bebal,
tak peduli dan tetap memberandal…

Ayo buntut bulu,
loncat dan jangan malu-malu!
Bawa senyuman hangat itu selalu,
biar tak ada lagi pilu
dan sedu sedan manapun pasti berlalu,
seperti banyak waktu di masa lalu…

Untuk si Echidut Mardidut, Buntut Bulu-ku tersayang…
p.s : SELAMAT BERTAMBAH DEWASA!!!
{08.09.02~08.09.06}

22.10.06
[23.58]

Saturday, October 21, 2006

P.A.G.I

Jam dinding berdetak,
tik…tak…tik…tak…
Waktu berjalan,
mengantar bibik menyiram rumput di halaman
Udara berlarian bersilaju,
menebar sisa-sisa malam yang melekat di baju
Di pojok kau terlelap
dan aku bersidekap
Seraya bersemu,
menatap pagi di wajahmu…

Salemba, 21.10.06
[09.11]

Monday, October 09, 2006

Sorry Morry Dorry Don’t Worry be Happy!

Forgiveness is letting go of all hope of a better past” -- (Annie Lamont)

tidak perlu santet, pelet, atau cairan pel pembersih lantai untuk membunuh kuman-kuman dalam kehidupan. cukup dengan menerima, memaafkan, dan melupakan, lalu bukan sulap bukan sihir, tring! semua masalah beres. seluruh dendam luruh.

andai hidup semudah itu, mungkin seisi dunia perdongengan akan penuh dengan malaikat ceria yang menyenangkan. Peri Hutan selalu berkhayal punya tongkat sakti seperti ibu peri yang baik hati, yang bisa menyulap isi kepalanya supaya hanya dipenuhi oleh gulali warna-warni, lolipop, dan keripik kentang saja. supaya hidupnya jauh lebih gembira. sayang, hal itu hanya terjadi di dalam sinetron dan Peri Hutan hanya bisa gigit jari. siapa sangka cerita dari negeri dongeng juga bisa menyayat hati dan tak ubahnya dengan dunia manusia yang kejam?

akhir-akhir ini memang sulit menerka-nerka siapa yang masih patut dipercayai dan siapa yang tidak. juga bertarung melawan pikiran diri sendiri yang bisa membunuh jiwa perlahan-lahan. tapi benci bukan solusi. juga amarah dan sumpah serapah.

“Menyimpan rasa marah adalah racun. Menggerogotimu dari dalam. Kita mengira kebencian merupakan senjata untuk menyerang orang yang menyakiti kita. Tapi kebencian adalah pedang bermata dua dan luka yang kita buat dengan pedang itu, kita lakukan terhadap diri kita sendiri.”

rasa marah memang telah menghancurkan Peri Hutan sedikit demi sedikit. menjadikan mukanya peyot seperti ayunan reyot di depan rumah pohonnya. jadi mungkin jalan yang terbaik adalah menerima semua hal-hal tak menyenangkan yang telah terjadi di dalam hidup kita, memaafkan, dan lalu melupakan semuanya.

tapi segampang itukah? Peri Hutan jadi memikirkan nasib peri-peri lainnya yang mungkin masih bermain-main dan bernyanyi ‘merry go round’ di lembah Neverland milik Jagoan Perut Buncit seperti kawanan domba yang dicucuk hidungnya. dapatkah mereka memaafkan si Buncit begitu saja? jangan-jangan sampai sekarang mereka tak sadar telah dijadikan mainan penghibur di Neverland busuknya. atau mungkin mereka memang peri-peri kegatelan yang tak peduli karena asas “abang senang, kami girang”?

ukh, mengapa bisa semudah itu oknum yang sudah jelas-jelas bersalah menikmati kemerdekaannya? ongkang-ongkang kaki sambil kipas-kipas seenaknya? sedangkan maling ayam mengakhiri hidupnya dengan dibakar oleh massa yang beringas. atau tukang colong sandal di surau yang digebuki sampai babak belur oleh orang sekampung. padahal kehilangan seekor ayam atau sepasang sandal tidak akan membikin hutan bunga matahari bangkrut!

Peri Hutan agak menyesal. seharusnya ia tidak langsung menghabisi nyawa si Buncit hari itu. biar dia rasakan dulu penderitaan yang hebat. mungkin dengan memboyong massa dan menghasut mereka untuk membugili si Buncit dan kemudian mengaraknya keliling hutan bunga matahari. biar ia tahu rasa dan menelan bulat-bulat rasa malunya! dan kemudian dipotong anu-nya sampai melolong minta tolong. biar si goblok itu kapok. biar tak ada lagi yang tertipu. dan biar ia rasakan hidupnya tak berguna sampai mati.

Peri Hutan nyengir, matanya yang bulat itu berbinar-binar nakal. ia agak tak percaya juga bisa punya pikiran sejahat itu. bisa-bisa si Malaikat Peniup Sangkakala terperanjat ketika mendengarnya. kecewa karena si malaikat ceria yang selalu ia lindungi dan sayangi telah berubah jadi setan yang jahat. ah, peduli setan lah kalau begitu! bukankah yang lebih tahu apa yang harus dilakukan semestinya adalah yang empunya kehidupan itu sendiri? Peri Hutan jadi tambah penasaran, apalagi yang hidup bisa berikan padanya dan jadi apa ia karenanya. mungkin suatu saat nanti ia berubah jadi keledai, atau malah jadi rumput. tidak ada yang pernah tahu.

Peri Hutan selalu bertanya-tanya; sebenarnya untuk apa ia dan makhluk-makhluk lainnya di seantero hutan bunga matahari terlempar ke dunia perdongengan yang begitu menyayat hati ini? apakah sebagai penghibur dan pelipur lara Sang Pencipta yang sedang kebosanan dan kesepian? atau mungkin memang kita tercipta untuk belajar memaafkan dan menerima kenelangsaan di dalam hidup? supaya kita bisa lebih legowo, karena ketika itu banyak hikmah yang muncul dan toh hidup harus jalan terus.

lucu juga melihat garis hidup yang tiba-tiba berbelok tanpa pernah direncanakan, mempertemukan kita dengan orang-orang yang tak pernah kita duga, melengketkannya seperti ketan, lalu tiba-tiba berpisah begitu saja. juga mengartikan pertanda-pertanda, atau mengamati perubahan diri ketika mencoba untuk menyesuaikan dan menerima keadaan yang tiba-tiba berbalik 180° tanpa pernah disangka-sangka. hidup memang seperti lelucon. tanpa ada yang pernah mengerti betapa seluruh pilihan yang telah kita buat dapat mempengaruhi hidup orang lain. dan betapa sebenarnya kita yang terlempar ke dunia ini melakukan pencarian akan diri kita sendiri. atau mungkin juga memang sudah takdir kita hidup untuk memahami pilihan-pilihan yang telah dan akan kita buat di dunia?

Tuesday, September 26, 2006

Bambi Telah Mati...

dan satu lagi kematian menjemput,
di waktu bibik mencabut rumput

memanggil satu demi satu,
di waktu gelap dan lelap beradu

kebekuan yang menjalar
seperti ajal yang memencar...

...

bilang ibu, Bambi telah mati...

[26.09.06 - 11.10]

Monday, September 18, 2006

True Love Waits

"I'll drown my beliefs
To have you be in peace
...
Just...
Don't leave, don't leave..." [*]

memang bukan perkara mudah mencari ketulusan di hutan bunga matahari. sama halnya dengan menjadi seseorang yang tulus, melakukan sesuatu bagi orang lain tanpa pamrih. karena seperti yang kita tahu, membacot jauh lebih mudah daripada membacok.

banyak sekali yang sudah putus asa karenanya dan si Jagoan Perut Buncit salah satunya. kasihan sekali dia, mati sebelum sempat mengecap sebuah romantisme ketulusan. atau malah ia mati bahagia karena sampai akhir hayatnya ia berhasil membuktikan bahwa memang tidak ada yang tulus di dunia ini? jawabannya tidak tahu. dan Peri Hutan juga tidak peduli. ia hanya ingin membuktikan bahwa bacot si Buncit tolol itu nol besar.

bukan perkara mudah, sekali lagi. namun hal inilah yang membuat Peri Hutan mengawali minggunya dengan mata berbinar-binar dan semangat baru. terlalu banyak berharap memang sama sekali tidak dianjurkan; bisa membuat diri hancur dalam kekecewaan dan ketidakberdayaan. tapi harapan juga penting untuk bertahan hidup.

harapan yang seperti apa? Mungkin ini berkaitan dengan ketulusan tadi. harapan yang tidak egois. harapan yang tetap dapat membuat kita tersenyum di dalam kekalahan kita. seperti tulisan Goenawan Mohamad dalam “Harapan”, catatan pinggir, Tempo, untuk Tuesdays with Morrie, “Harapan, baginya, ialah ketika ia memberi. Mungkin dengan sedih dan getir dan rapuh. Tapi akhirnya ia memberi tahu kita: tetap saja ada orang yang berbuat baik, juga dalam kekalahan. Bukankah itu juga harapan?”

setidaknya ia masih punya harapan untuk menambal sulam hati barunya dengan benang sulam warna merah jambu kepunyaan mendiang neneknya. menjaga dan merawatnya sampai pemilik yang sesungguhnya datang padanya dan memintanya. pada saat itulah ia akan memberikannya dengan senyum yang mengembang di wajahnya, tanpa ragu.

pasalnya, ia sudah cukup bahagia bisa duduk-duduk menghabiskan sore di ayunan reyotnya sambil menyulam hati barunya itu. hati baru yang membuatnya kembali bersemangat dan tegar menjalani kehidupan setelah tercemplung di dalam comberan bau, dengan cara-cara yang sederhana dan tak terduga. dan Peri Hutan menyayangi hati barunya itu melebihi apapun tanpa ia sadari. maka apapun akan ia lakukan supaya hati barunya tidak kisut dan penuh borok seperti yang lama, walaupun untuk itu ia harus merelakannya pergi dan menjadi milik orang lain.

sekarang Peri Hutan tidak lagi menggebu-gebu untuk mencari Neverland-nya sampai ke ujung dunia. ia bisa menciptakannya dimanapun, di tempat yang ia inginkan, entah itu di Honolulu atau bahkan puncak Himalaya dengan seseorang yang pada akhirnya ia pilih dan juga memilih dirinya.

masalahnya adalah ia tak terlalu membutuhkannya saat ini, karena ia sendiri adalah peri yang bebas dan santai. masih suka bermain-main sampai lupa waktu dengan peri-peri lainnya. yang ia butuhkan hanya seseorang yang mau menunggunya. seseorang yang mau belajar dan berjalan bersamanya. mau menemaninya duduk-duduk saja tanpa sepatah kata pun, bengang-bengong cengangas-cengenges, dan naik ke puncak Monas sambil meneriakkan sumpah serapah sampai masuk angin ; seperti yang biasa ia lakukan dengan teman-teman perinya yang bodoh atau sekedar menemaninya makan es krim putih bertaburan M&M kesukaannya sambil bercerita, dan meminjamkan lengan kokohnya untuk Peri Hutan tidur karena sudah capek seharian bermain dan berteriak-teriak. bukan orang-orang yang mendesak dan menuntut macam-macam darinya. orang-orang yang seperti kernet angkot bagai kebakaran jenggot kesetanan mengejar setoran.

ia percaya ini semua hanya masalah waktu. orang yang tepat akan menunggu dan datang di saat yang tepat, jadi apa yang harus dikhawatirkannya ? kalaupun toh tak ada yang menunggunya, ia sudah siap dan dengan lapang dada akan menerima itu sebagai bagian dari takdirnya. takkan ada penyesalan dan kekecewaan. semoga. lagipula Peri Hutan sudah terbiasa hidup sendiri dan tidak suka merepotkan orang lain.

nyenyak sekali tidurnya semalam. belum pernah Peri Hutan bangun dengan perasaan sesegar ini. perasaan seperti terlahir kembali. Peri Hutan masih berdiri di depan pintu rumah pohonnya sambil tersenyum bahagia, menerima paket berisi anak kucing kecil manis dengan mata biru jernih, yang langsung dinamainya Tigger (karena wajahnya yang menyerupai anak macan.red), dan sebotol susu coklat untuk mengawali hari ini, kiriman dari si Kurcaci Penabuh Genderang. Peri Hutan segera membaca surat dari sahabat yang sangat disayanginya itu, yang diselipkan di ban leher Tigger:

“jangan bersedih, Peri Hutan… apapun yang nanti terjadi diikhlaskan saja, tiap orang pasti pernah berbuat salah, dan itu yang membuat kita jadi lebih baik. Kamu adalah orang pertama yang kuanggap sahabat. Masih merasa apa yang kamu lakukan selalu salah?” :)

Peri Hutan masih ingat betapa murungnya si Kurcaci Penabuh Genderang dulu, jongkok seorang diri dan pundung. tak mau berbicara dengan siapapun dan diam saja sepanjang hari dengan tatapan kosong. ibaratnya hidup segan, matipun tak mau. kini tanpa penyertaan Peri Hutan pun, Kurcaci Penabuh Genderang sudah berubah menjadi kurcaci yang paling periang di seantero hutan bunga matahari. apalagi sejak ia bertemu dengan si balerina cantik pelengkap hidupnya.

Peri Hutan juga tiba-tiba teringat dengan si Beruang Madu Muka Datar yang tinggal di gua lembah madu. dulu kelakuannya juga tak jauh berbeda dengan si Kurcaci Penabuh Genderang; tak prnah percaya dengan kebaikan orang lain dan selalu menganggap dirinya kuat. sampai akhirnya ia mengaku merasa ada sesuatu yang lebih hidup dan bermakna ketika membiarkan Peri Hutan masuk ke dalam kehidupannya, bertahun-tahun yang lalu. dan kini hidup si Beruang Madu Muka Datar lebih berwarna-warni seperti gulali dan pelangi.

senang rasanya mengetahui kita berguna untuk hidup orang lain tanpa kita sadari. juga menyadari bahwa masih ada yang peduli dan tidak menertawakan kita, setolol apapun kesalahan yang telah kita perbuat di dalam hidup. dan itu membuat Peri Hutan semakin bersemangat menjalani minggu yang baru ini, untuk terus menyulam hati barunya.
"And true love waits
In haunted attics
And true love lives
On lollipops and crisps" [*]
[*] True Love Waits -- Radiohead (I Might be Wrong - Live Recording)

Sunday, September 17, 2006

Mimpiku Usang

Yang kupunya hanyalah
kumpulan mimpi-mimpi usang
yang sudah menguning dimakan usia
Tanpa harapan,
dan yang tersisa
tinggal potongan-potongannya
yang tercabik-cabik
dikerat ngengat
Perempuan/
menari dalam duka/
mati bersiluetkan hadirmu//

[Solo, 05.07.05]


*) inspired by : Jazz Tengah Malam – Jazz, Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma.

Thursday, September 14, 2006

Guillotine buat Peri Hutan

“Kadang-kadang aku bertanya, kenapa aku harus pernah hidup. Seandainya aku tak pernah lahir di dunia celaka ini, aku tak akan punya perasaan-perasaan yang mengganggu. Aku tak akan merangkak-rangkak mempertahankan hidup. Aku tak akan pernah merasakan hidup ini sia-sia. Aku tak akan sibuk. Aku akan menjadi bagian dari keabadian.” [*]

Peri Hutan duduk sambil melamun di atas ayunan reyot yang ada di depan rumah pohon tuanya. ia berayun-ayun perlahan seirama dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang bertiup di hutan bunga matahari. memikirkan ide tentang keabadian. ia selalu berharap tak pernah beranjak tua. tetap berusia 77 tahun sampai akhir hayatnya, usia yang masih sangat belia untuk ukuran seorang peri.

Peri Hutan bengong sambil memikirkan sesuatu yang lain dalam diam. tatapannya kosong. sore-sore begini memang paling enak bengang-bengong sambil main ayunan kalau ia sedang tak kedatangan tamu atau pergi bermain-main di luar dengan si Kurcaci Penabuh Genderang. banyak sekali yang dipikirkannya akhir-akhir ini dan rasanya kepalanya yang bodoh itu bisa meledak saking penuhnya.

entah kenapa semuanya serba salah. tak ada satupun harapan yang tercapai; baik harapan-harapan dari para makhluk di hutan bunga matahari, maupun harapan-harapan yang ia buat bagi dirinya sendiri. persetan sebetulnya dengan itu semua! tapi masalahnya, akhir-akhir ini sudah terlalu sering ia bertindak sesuka hati, menyakiti hati banyak orang dengan keegoisannya, dan mengatasnamakannya sebagai euphoria kebangkitannya dari comberan yang bau busuk. ia terlalu jumawa dengan keberhasilannya melewati tahap itu seorang diri, sehingga kini menganggap enteng semua masalah yang muncul di depan batang hidungnya. kalaupun itu semua diakumulasi, toh takkan ada yang menandingi dalam dan busuknya comberan yang kemarin, batinnya. tapi semua harus ada batasnya. atau hutan bunga matahari akan hangus terbakar bersama dirinya.

sadar tak sadar, tenggelam di dalam comberan busuk dan terluka secara fisik dan mental selama berbulan-bulan itu memang memberikan dampak yang luar biasa bagi Peri Hutan. berada pada posisi yang membuatnya jadi lebih memiliki daya tahan dan kesabaran dari sebelumnya. dan ia, mau tak mau, suka tidak suka, harus belajar untuk menerima hal tersebut sebagai bagian dari takdirnya.

walaupun karenanya ia juga jadi jauh lebih ekspresif, lebih banyak menyumpah, dan rewel dari sebelumnya. lebih banyak menya-menye dan uring-uringan sepanjang hari, membuat seisi hutan bunga matahari sebal dibuatnya. si Kurcaci Penabuh Genderang yang penyabar saja hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Peri Hutan dengan wajah bosan dan belernya ketika sahabatnya itu berulah. persis seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh ibunya, lalu jongkok di tengah kerumunan orang sambil mewek dan berguling-guling guna mencari perhatian. sungguh menyebalkan!

entah kenapa tak pernah ada yang pas dengan kelakuannya. selalu serba salah. dulu ketika masih berada di dalam Neverland milik si Jagoan Perut Buncit, emosinya sangat lamban bekerja. padahal selama berbulan-bulan berada di sana banyak sekali kejadian yang seharusnya memancing emosinya dan bertindak. kejadian-kejadian yang belum sempat dan malas ia ceritakan karena selalu membuatnya ingin muntah jika mengingatnya. tapi yang ia lakukan hanya diam seribu bahasa, bersikap seolah-olah tak ada kejadian apapun, dan meneruskan hidup di dunia khayalannya, bermain komidi putar seorang diri sambil makan gulali warna-warni sampai bosan dan bolong giginya. sekarang yang ia inginkan hanya tidak lagi dipermainkan dan diinjak-injak oleh siapapun yang hendak memanfaatkan dirinya yang tidak terlalu menuntut seperti peri-peri lain yang selalu punya banyak persyaratan.

kini, ketika yang seharusnya ia lakukan hanya duduk manis di atas ayunan reyotnya sambil terus merajut hati barunya, ia malahan melakukan hal-hal bodoh yang tidak perlu. jumpalitan dan berguling-guling sibuk mencari perhatian.

ah, Peri Hutan juga bingung. mungkin ini akibat pengaruh hormon yang bergejolak di periode tertentu, atau mungkin juga memang semua peri yang ada di dunia perdongengan dan masih hidup perasaannya pasti pernah merasakan hatinya melompat-lompat seperti habis bermain bianglala di pasar malam suatu waktu. entahlah. yang ia tahu sekarang, gara-gara dirinya yang tolol dan dungu, ia menggores dan menambah lubang di hati barunya. dan kali ini ia kesulitan menambal sulamnya lagi karena hati barunya itu menjauh darinya.

Peri Hutan putus asa. semua pertanyaan memberondongnya membabi buta. mengapa ia harus ada di hutan bunga matahari? mengapa ia harus jadi peri yang bodoh? mengapa ia tidak pernah berhasil melakukan sesuatu dengan benar? mengapa ia selalu merusak segalanya? mengapa ia tak berhasil menolong si Jagoan Perut Buncit yang sebenarnya membutuhkan pertolongan? mengapa justru malah dirinya disakiti dan sama sekali tak dihargai oleh Jagoan Perut Buncit yang begitu ia peduli dan sayangi? mengapa si Buncit sama sekali tak pernah merasa bersalah bahkan di saat-saat terakhir Peri Hutan menghabisi nyawanya? mengapa ia harus lahir sebagai seorang Peri Hutan jika ia tak mampu berbuat apapun? mengapa? mengapa?? bukankah semuanya akan jauh lebih baik jika ia mati dan tak ada di sana?

Peri Hutan menangis tersedu-sedu seorang diri, masih terduduk di atas ayunan reyotnya, sambil memeluk kedua lututnya. bahunya berguncang menahan isak tangis yang semakin lama semakin keras. penyesalan dan perasaan tak berdaya datang silih berganti, membuatnya semakin terpuruk di dalam keputusasaan. membuatnya semakin yakin bahwa dirinya tolol, dungu, dan sama sekali tak berguna.

mengapa dulu ia tidak melawan ketika dirinya diinjak-injak? mengapa dulu ia hanya menerima comberan busuk yang seharusnya bukan untuknya dan memilih untuk diam seribu bahasa ketika diperlakukan seperti sampah? mengapa ia tidak memberontak sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat? mengapa ia tidak berdaya untuk mempertahankan martabatnya sebagai seorang Peri Hutan, sekuat apapun ia berusaha?

entah kenapa ia tak pernah benar-benar sembuh dari rasa sakitnya. rasa sakit yang bisa tiba-tiba kambuh di malam-malam tak terduga. rasa sakit yang jika dibiarkan dapat membuatnya semakin kehilangan kepercayaan dirinya, harapan-harapannya, dan akhirnya membeku.

samar-samar Peri Hutan menatap keriaan pasar malam di balai-balai hutan bunga matahari dengan berlinangan air mata. Sore, band jazz kesukaannya, sudah naik ke atas panggung dan intro “No Fruits for Today” mengalun merdu perlahan. membikin hatinya semakin pilu dan miris.

memang tidak ada buah-buahan bagi Peri Hutan hari ini. yang ada guillotine. dan tiang pancungan itu seakan memanggil-manggil Peri Hutan untuk segera menaruh lehernya di sana. membebaskannya dari malam-malam tak terduga yang membuat rasa sakitnya kambuh.

ayo Ade Paloh cs., menyanyilah lagi dan lengkapi kegetiran malam ini! karena selalu ingin kupersembahkan sepotong jazz untuk sebuah malam, tapi sayang aku cuma seorang pelamun celaka, pemimpi tanpa harapan, sia-sia meraih kenyataan di ruang hampa udara... (Bab 7. Jazz Tengah Malam – Jazz, Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma)

[*] Bab 6. pelacur (Atas Nama Malam – Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma)

Tuesday, August 29, 2006

Tembok Keajaiban

“ayo bangkit dari comberan!”


entah sudah berapa kali suara itu mengiang-ngiang di telinga Peri Hutan. suara yang sudah beberapa bulan terakhir ini menemani hari-harinya. ia sudah tahu sejak dulu, tak ada yang bisa menolongnya selain dirinya sendiri.

namun Peri Hutan tetap membiarkan dirinya tenggelam di dalam kenelangsaan. jauh terbenam ke dalam comberan yang bau. memang tak ada yang lebih menyenangkan selain menikmati ironi kehidupan: pengkhianatan, penipuan, pelecehan, perasaan disia-siakan, rasa sakit, dan kekecewaan yang begitu mendalam. setidaknya ia tetap hidup di dalam ketenggalamannya. menikmati setiap rasa sakit dan sesak di dadanya ketika hanya air busuk yang tertelan dan tak ada udara yang bisa terhirup.

setidaknya itu lebih baik ketimbang si Buncit Bangs*t yang terus membunuh perasaannya sendiri dari hari ke hari. kini ia tak lebih dari sekedar orang tolol yang menganggap dirinya pintar, sama halnya dengan cecurut yang mengira dirinya harimau di mata Peri Hutan. terkadang butuh waktu yang cukup lama untuk memahami apa yang terjadi dan benar-benar mengerti tentang suatu hal. dan ia puas meresapi kematian si Buncit itu di tangan dan hatinya.
namun seperti yang kita ketahui, kematian selalu menimbulkan lubang yang besar bagi siapapun. dan itulah yang sekarang tengah terjadi pada dirinya. jiwanya melayang-layang tanpa bobot karena ada sebuah lubang yang besar di tengah-tengah.

Peri Hutan harus bertahan agar lubang itu tidak semakin membesar dan perlahan-lahan mengikis dirinya, menjadikannya buih-buih dan hilang menguap di udara. bahkan ia nyaris kehilangan dirinya karena itu, juga karena terlalu sibuk mencari-cari sesuatu di luar sana yang baru disadarinya ternyata semuanya berakar pada dirinya sendiri.

sejenak Peri Hutan sempat mengubur dalam-dalam harapan dan impian lamanya. ia sudah terlalu putus asa untuk itu. namun hidup adalah perjuangan dan hanya orang-orang yang memperjuangkan apa yang diyakininya-lah orang-orang yang benar-benar hidup. apapun risikonya.

“apakah kehidupan ini memang ada skenarionya? entahlah. aku ingin tahu adakah suatu cara yang praktis untuk menjadi bahagia, yang lebih instant dan tidak membutuhkan bumbu ironi.” – Seorang Wanita dengan Parfum Eternity [Seno Gumira Ajidarma]

ada. namun bukan itu jalan yang akan dipilihnya. sepanjang hidupnya ia hanya mau Neverland dan ia akan terus menggenggam harapan menemukan tempat itu walaupun untuk memperolehnya harus melalui neraka yang penuh dengan lidah api. walaupun untuk itu banyak yang mencibirnya dan menatap dengan kasihan. ia tidak mau mencari jalan pintas untuk memperolehnya. karena sesuatu yang terlalu cepat didapat juga akan dengan cepat menghilang.

hanya saja yang menakutkannya adalah apakah yang dinginkannya juga yang dibutuhkannya? butuh waktu seumur hidup untuk mencari tahu. kalaupun toh segala sesuatunya tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan, Peri Hutan telah menerima takdir bahwa di dalam hidup ini tak bisa menggantungkan seluruh hidup kita pada orang lain setiap saat. dan di dalam hidup ini setiap manusia berjalan sendirian. begitu pula ketika kelahiran yang mengantar dan kematian yang menjemput.

“dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang... seperti dunia dalam pasar malam. seorang-seorang mereka datang... dan pergi. dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana” – Bukan Pasar Malam [Pramoedya Ananta Toer]

yang terpenting sekarang Peri Hutan telah bangkit dari comberan yang selama ini membelenggunya dan sedang menapaki tembok keajaiban penyelamatnya. walaupun ternyata tembok besar itu tak sekokoh kelihatannya. tapi ia tak terlalu ambil pusing.

ayo bodoh, kita bersenang-senang dan menyanyi lagi!!!

“There are many things that I would like to say to you but I don't know how... Because maybe you're gonna be the one who saves me ? And after all you're my wonderwall ...” [*]
[*] Wonderwall – Oasis ((What's The Story) Morning Glory?)

Monday, August 21, 2006

Lamunan Jamban

"slowly down the avenue… and the irony of liking you…" [*]

ironis : kenyataan bahwa kita menyukai seseorang dalam diam, lalu mengharap dalam kesunyian. perlahan-lahan perasaan itu merambat dari degupan tak karuan di dada menjadi serangan yang melilit perut seperti panggilan alam di pagi hari.

memang ironis : perasaan seolah-olah mengenal orang itu atau lebih dangdutnya lagi yakin bahwa orang itu semacam belahan jiwa kita yang tercecer entah di mana dan tanpa sengaja (atau mungkin pada akhirnya) kita temukan, padahal bisa saja itu terjadi berulang-ulang pada siapapun yang kita temui. asal waktunya tepat dan reaksi kimianya pas.

tapi kita sudah terlanjur mengkhayal-khayal, berharap-harap cemas; persis seperti menunggu pengumuman hasil SPMB; supaya orang itu menyadari keberadaan kita. tak ada yang dilakukan sepanjang hari selain berbaring bermalas-malasan di atas kasur sambil memikirkan orang itu sepanjang hari. mau menghubungi gengsi. akhirnya menghubungi dengan terlebih dahulu bersusah payah membuang jauh semua tetek bengkak permasalahan harga diri tapi tak ada respon. serba salah. setelah itu larut dalam penyesalan karena tak bisa menahan diri sambil membenamkan muka ke bantal karena toh hasilnya sama saja.

tiba-tiba perasaan aneh menggerayangi dan menghantui sepanjang malam, membuat mata melek walaupun tidak diganjal kopi. perasaan aneh ingin bertemu walaupun tidak tahu mau menanyakan apa; rasanya sudah tahu tentang dirinya sebelum ia sempat menceritakan apapun. perasaan aneh untuk duduk berdampingan dengan orang itu sambil terpekur menikmati semilir angin. duduk-duduk saja tanpa sepatah kata pun terucap. setidaknya cukup untuk mengetahui bahwa ada lengan yang kokoh untuk menyender ketika kita lelah dan bahu yang tulus untuk kita menangis ketika semua beban yang ada terasa begitu berat. cukup untuk mengetahui ada kehangatan yang menjalar dari setiap hembusan nafas. atau sekedar kehadiran untuk menemani makan es krim yang dingin dengan M&M bertaburan di atasnya di Sarinah Thamrin. selanjutnya yang ada hanya keakraban di dalam kesunyian…

"I love you and you love me… we’re gonna make a big family…" [*]

sayup-sayup masih terdengar lantunan merdu sebuah tembang dari Sore dan Peri Hutan meringis pilu, sembari menyiram jamban yang sudah didudukinya dari tadi sampai pantatnya terasa kesemutan, melarutkan semua ampas dan lamunan-lamunan yang ada ke dalam lubang hitam pekat.

rupa-rupanya Ade Paloh mengigau saat menulis lagu itu. atau mungkin memang tidak ada buah-buahan bagi Peri Hutan untuk hari ini??

[*] No Fruits for Today – Sore (Centralismo)

Thursday, August 17, 2006

Surga Kue Keju dan Selai Berry Biru

BEBAASS!!!

MERDEKAAA!!!

apakah sebenarnya makna kebebasan itu? orang-orang seperti kebakaran jenggot meneriakkan kebebasan dan kemerdekaan mereka namun tidak ada yang benar-benar tahu apa makna dari kebebasan atau kemerdekaan itu sendiri.

Peri Hutan sendiri telah berjuang sepanjang hidupnya untuk memperoleh kebebasan itu. kebebasan untuk pergi ke mana pun ia suka, kebebasan untuk memilih apapun yang ia kehendaki, kebebasan untuk memperjuangkan apa yang diyakininya, kebebasan untuk memperoleh keberanian menjalani kehidupan yang tak pernah pasti. ironisnya yang terjadi sekarang ini, bahkan untuk memperjuangkan apa yang diyakini oleh seseorang pun adalah sesuatu yang tidak mudah. padahal pilihan untuk menjadi berbeda saja sudah sulit. harus terlebih dahulu melalui proses panjang pertarungan melawan diri sendiri.

Peri Hutan muak. sejak dulu, terlalu sering ia diombang-ambing oleh harapan orang-orang di sekitarnya. harapan untuk selalu menjadi yang terbaik, panutan, sosok yang sempurna. padahal kita semua tahu tak ada kesempurnaan di dunia yang fana. ini membuatnya akrab dengan kepura-puraan di hadapan orang-orang yang selalu berharap terlalu banyak padanya. dan siapapun yang mengalaminya pasti tidak dapat menghindari kehausan akan pengakuan dari dunia hanya untuk membuat diri mereka tenang dan tidur nyenyak di malam hari sambil bermimpi indah. semakin lama dosisnya semakin bertambah dan bertambah dan lama kelamaan mereka akan berakhir sebagai orang rakus yang tak pernah puas. lalu tidak akan ada lagi tidur-tidur nyenyak di malam hari dan mimpi-mimpi indah karena dikuasai ketakutan-ketakutan, perasaan terancam, dan kosong.

sangat mengerikan. bukan kehidupan seperti robot tadi yang diimpikan oleh Peri Hutan. dan yang pasti juga bukan kehidupan yang dipilihkan orang-orang terdekatnya dan menjadi budak dari keinginan mereka yang merasa tahu apa yang terbaik untuk dirinya dan hidupnya. ia terlahir di dunia ini untuk berjuang, walau terkadang atau mungkin sering tanpa hasil.

lagi-lagi apa itu makna kebebasan, Peri Hutan tidak terlalu mengerti. karena makna kebebasan bagi setiap orang berbeda-beda tergantung dari segi apa orang itu mengimaninya dan ke mana pengalaman hidup telah membawanya. yang ia tahu, di sebuah buku karangan Paulo Coelho yang pernah dibacanya; kebebasan itu bukanlah ketiadaan tanggung jawab, melainkan kemampuan untuk menentukan pilihan dan melibatkan diri pada apa yang terbaik untuknya. dan yang jelas tak ada kebebasan yang mutlak. karena apapun pilihan yang telah kita tentukan bagi diri sendiri, juga kita tentukan bagi orang lain di sekitar kita.

hhh, adakah sebuah tempat yang benar-benar kekal abadi, yang takkan lekang dimakan jaman? entahlah. yang pasti Peri Hutan sedang lelah untuk berlari dari hutan bunga matahari-nya. ia tidak bisa membaca peta dan tentu saja akhirnya selalu tersesat dan ujung-ujungnya kembali lagi ke sana. lagipula tak ada gunanya pergi dari sana dengan tujuan mencari sesuatu secara membabi-buta. takkan ada hasilnya ketika kita pergi dengan tujuan hanya untuk menghindar dari sesuatu. lalu ia teringat akan suatu hal. kata-kata kunci ini : untuk menemukan orang atau sesuatu yang kau cintai, maka kau harus menemukan dirimu sendiri terlebih dahulu.

Peri Hutan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terlalu gatal. seperti biasa, otaknya yang bodoh kurang mampu mencerna kata-kata atau ungkapan yang terlalu sulit. ia mengira-ngira mungkin maksudnya adalah ia harus melihat jauh ke dasar lubuk hatinya untuk menemukan jawabannya dan apa yang diinginkannya melebihi apapun. mungkin. dan yang dilihatnya adalah peri-peri sebodoh dan seautis dirinya yang ia cintai dengan muka cemangcemong penuh mentega sedang melompat-lompat gembira, asyik berguling-gulingan di atas surga kue keju dan selai berry biru, sambil melambai-lambaikan tangan mereka memanggil dirinya.

Peri Hutan segera berlari ke arah peri-peri bodoh dan autis tadi dan bergabung dengan mereka, tertawa-tawa dan berguling-gulingan sampai mukanya cemongan. bahagianya memiliki dunia mereka sendiri. dunia di mana surga dan neraka tak pernah ada. dunia di mana ia tak perlu berpura-pura; bisa mengeluarkan sumpah serapah tanpa takut ada yang terluka, menjadi bodoh tanpa dihukum, dan menertawakan kebodohan diri sendiri sampai malam bosan dan pamit. dan dunia penuh kebahagiaan yang tak pernah semu di mata Peri Hutan. walaupun kebahagiaan ini tidak bisa setiap hari dinikmatinya. mungkin inilah salah satu makna kebebasan yang selama ini dicarinya.

dan Peri Hutan meniup kelima lilin yang terpancang di atas surga kue keju dan selai berry biru tadi sambil memejamkan matanya, memohon 10 tahun lagi kebersamaan dan kebahagiaan itu... bersama peri-peri bodoh dan autis yang tak pernah bertambah tua seperti dirinya.

Wednesday, August 09, 2006

Menambal Sulam Hati Baru Peri Hutan

jadi apa yang membuat Peri Hutan akhir-akhir ini murung dan pundung sepertinya sedikit lagi akan terpecahkan. kegilaan yang dialaminya karena tidak berhasil mengkomunikasikan apa yang ada di pikirannya walaupun ia benar-benar mengerti dan paham apa yang dirasakannya akan segera berakhir.

petunjuknya adalah hari-hari di mana Peri Hutan bekerja keras membanting tulang dari pagi hingga malam hanya supaya ia punya sesuatu yang lebih penting untuk dilakukan dan dipikirkan. padahal ia sendiri tidak terlalu memerlukannya. ia masih punya banyak waktu untuk berleha-leha selama beberapa tahun ke depan. tidak ada mulut yang harus diberinya makan kecuali dirinya sendiri. atau hari-hari di mana ia mati-matian membentuk citra diri yang bagus hanya supaya semua orang di hutan bunga matahari dan sekitarnya memandangnya dengan kagum dan iri. supaya tidak tahu dirinya juga sebenarnya setali tiga uang dengan mereka. sama-sama dipenuhi ketakutan-ketakutan tentang hidup dan masa depan.

juga malam-malam di mana ketika ia terbengang-bengong di padang ilalang ditemani kambing-kambing yang kurus ceking karena tidak bisa tidur. kambing-kambing yang sekurus ceking dirinya.

hari-hari di mana ia memainkan peranan sebagai seorang Peri Hutan yang kuat dan mampu melindungi dirinya sendiri, serta tiada hari tanpa cengangas-cengenges tertawa-tawa gembira, berganti menjadi malam-malam di mana ia sadar sebenarnya ia hanyalah seorang Peri Hutan cengeng dan lemah yang bahkan tak mampu membendung air matanya sendiri melawan rasa sepi yang bertubi-tubi menghampirinya. dan juga kenyataan bahwa semua yang dilakukannya sepanjang hari tadi hanya untuk menutup-nutupi keadaan jiwanya yang hampa. kosong seperti seonggok karung goni di sudut gudang yang gelap dan berdebu. persis seperti yang telah diramalkan oleh si Malaikat Peniup Sangkakala, yang khawatir dengan pola hidup Peri Hutan yang semakin amburadul, beberapa waktu yang lalu.

ingin rasanya Peri Hutan makan semua rumput yang ada di padang ilalang dan menjadi headline di koran keesokan paginya bahwa ditemukan seorang peri hutan yang bodoh tergeletak tak bernyawa di padang ilalang karena di dalam tubuhnya ditemukan banyak zat beracun akibat terlalu banyak menelan rumput.
atau ditemukan seorang Peri Hutan putus asa yang sudah tak bernyawa karena menggantung dirinya di ayunan depan rumah pohonnya. lalu seantero hutan bunga matahari akan membahas mengenai kejadian itu dan mempergunjingkannya selama seminggu. bergosip dan berspekulasi mengenai apa yang baru saja terjadi, hal apa yang menimpa Peri Hutan sehingga ia bisa berbuat senekad itu: mengakhiri hidupnya yang singkat ini di hutan bunga matahari yang indah.

lalu orang-orang akan mendatangi si Kurcaci Penabuh Genderang untuk menanyakan perihal itu dan berharap-harap cemas di dalam hati jawaban yang diberikan oleh sahabatnya Peri Hutan itu haruslah sensasional dan menggemparkan, seperti misalnya Peri Hutan ternyata hamil di luar nikah lalu memutuskan gantung diri karena pria yang menghamilinya tidak mau bertanggung jawab atau ia putus asa karena banyak hutang dan tak bisa melunasinya di saat jatuh tempo.

tapi Kurcaci Penabuh Genderang hanya akan diam dan melengos di depan orang-orang yang haus gosip itu, dan seminggu kemudian orang-orang di hutan bunga matahari menjalankan aktivitas mereka seperti biasa, melupakan kejadian menggemparkan itu dan bahkan lupa bahwa pernah ada makhluk bernama Peri Hutan yang tinggal di sana.

padahal Peri Hutan sudah membeli hati baru di Pasar Jumat. tapi ternyata hatinya yang baru itu hampir mirip seperti yang lama. rasanya seperti ketiganya berhadapan. seperti bercermin dan mereka semua adalah taik kucing yang sama. Peri Hutan, hatinya yang lama, dan hatinya yang baru. semuanya bau busuk dan penuh lalat. persis seperti lingkaran setan yang menghantui hidup Peri Hutan. dan apa yang ditakutkannya terjadi sudah. ia kembali dihadapkan pada dua pilihan menyebalkan. hari-hari penuh nikmat dan sengsara yang bisa saja membuatnya kembali terpuruk bahkan lebih dalam dari sebelumnya di dalam lobang yang sama atau malah menemukan Neverland yang dicarinya selama ini. berdampingan dengan hari-hari suram tak berkesudahan di mana Peri Hutan pundung dan murung. pilihan yang sulit. andai hidup tidak penuh dengan cabang-cabang yang penuh jebakan. andai hidup tidak perlu memilih.

dan Peri Hutan memilih untuk duduk manis di ayunan depan rumah pohonnya sambil menambal hati barunya yang agak bolong dengan jarum dan benang sulam warna merah jambu kepunyaan mendiang neneknya yang semasa hidupnya sangat suka menyulam syal.

Monday, August 07, 2006

A Quote by Seno

"…Barangkali kita justru harus bersyukur jika sempat mengecap apa yang disebut kesedihan. Itu membuktikan bahwa kita setidaknya masih punya perasaan. Banyak orang di dunia ini menderita begitu hebat, sehingga harus mengikis perasaannya sendiri. Supaya tidak perlu mengakui dirinya kesepian. Supaya tidak perlu takluk pada keterasingan."


[*] Bab 14. Seorang Wanita dengan Parfum Poison.
Seno Gumira Ajidarma – Jazz, Parfum, dan Insiden.

Sunday, August 06, 2006

Peri Hutan dan Kambing-Kambing Ceking di Padang Ilalang

pernah dengar cerita bahwa Peri Hutan sudah malas mencari Neverland baru, bosan bermain komidi putar, dan eneg makan gulali warna-warni yang manis? cerita bahwa ia bahkan tidak tahu lagi apa itu Neverland atau benarkah itu yang selama ini dicarinya? ternyata cerita itu bukan sekedar kabar unggas, jilatan jempol, atau gosip bencong semata!

Peri Hutan sudah benar-benar muak mencari. toh jika sudah menemukannya pasti akan muncul permasalahan yang baru: B O S A N. ah, masa bisa bosan? entahlah, yang pasti Peri Hutan hanya bisa menerka-nerka dan berkhayal sepanjang hari, seperti yang sedang dilakukannya sekarang, karena ia sendiri belum pernah benar-benar menemukan Neverland yang selama ini dicarinya. mungkin juga ia sedang berlari dari kenyataan yang ada dan mencari-cari alasan yang masuk akal supaya tidak perlu terlalu bersedih sepanjang hari. tetapi hal itu tidak penting lagi bagi Peri Hutan karena sebagian dari dirinya beserta harapan-harapannya sudah mati, bersamaan dengan tumbangnya si Jagoan Perut Buncit di Neverland-nya.

kalaupun sekiranya ada yang mirip-mirip dengan Neverland itu, bukannya tidak mungkin tempat itu palsu seperti yang sebelumnya. ukh, terlalu banyak yang palsu akhir-akhir ini. rambut palsu, gigi palsu, bahkan tetek palsu!

selain itu terkadang menjalani hidup tidak semudah yang dibayangkan. sama seperti memaafkan dan melepaskan sesuatu yang bukan milik kita dengan hati yang ikhlas. semoga saja Tuhan memaafkan Peri Hutan yang telah memburai isi perut Jagoan Perut Buncit kemarin dulu, jika itu termasuk dosa. juga pilihan dan tekad Peri Hutan untuk lebih baik masuk neraka daripada menginjak tanah yang sama dengan si Buncit BANGS*T di surga, jika tempat itu memang ada.

B O S A N. Peri Hutan bosan mencari dan tertipu. lalu bosan menunggu. setelah itu bosan berharap. dan terakhir bosan mengkhayal. Peri Hutan kesepian. si Kurcaci Penabuh Genderang sedang asyik memainkan musik pengiring untuk Balerina-nya. ah, semoga si Kurcaci Penabuh Genderang hidup bahagia. Peri Hutan turut senang melihatnya walau iri juga terkadang mendengar cerita-cerita dan harapannya. dunia memang tidak seempuk daun kelor buat semua orang. dan Peri Hutan termangu sendiri di hamparan padang ilalang yang luas, ditemani kambing-kambing ceking yang sedang makan rumput.

lalu Peri Hutan melantur; daripada makan gulali warna-warni yang manis sampai mabok, mungkin lebih baik mabok makan rumput. setidaknya ada kambing-kambing ceking yang menemani. dan muntah bersama ketika rasa pahitnya tidak sesuai dengan harapan.