Thursday, September 14, 2006

Guillotine buat Peri Hutan

“Kadang-kadang aku bertanya, kenapa aku harus pernah hidup. Seandainya aku tak pernah lahir di dunia celaka ini, aku tak akan punya perasaan-perasaan yang mengganggu. Aku tak akan merangkak-rangkak mempertahankan hidup. Aku tak akan pernah merasakan hidup ini sia-sia. Aku tak akan sibuk. Aku akan menjadi bagian dari keabadian.” [*]

Peri Hutan duduk sambil melamun di atas ayunan reyot yang ada di depan rumah pohon tuanya. ia berayun-ayun perlahan seirama dengan hembusan angin sepoi-sepoi yang bertiup di hutan bunga matahari. memikirkan ide tentang keabadian. ia selalu berharap tak pernah beranjak tua. tetap berusia 77 tahun sampai akhir hayatnya, usia yang masih sangat belia untuk ukuran seorang peri.

Peri Hutan bengong sambil memikirkan sesuatu yang lain dalam diam. tatapannya kosong. sore-sore begini memang paling enak bengang-bengong sambil main ayunan kalau ia sedang tak kedatangan tamu atau pergi bermain-main di luar dengan si Kurcaci Penabuh Genderang. banyak sekali yang dipikirkannya akhir-akhir ini dan rasanya kepalanya yang bodoh itu bisa meledak saking penuhnya.

entah kenapa semuanya serba salah. tak ada satupun harapan yang tercapai; baik harapan-harapan dari para makhluk di hutan bunga matahari, maupun harapan-harapan yang ia buat bagi dirinya sendiri. persetan sebetulnya dengan itu semua! tapi masalahnya, akhir-akhir ini sudah terlalu sering ia bertindak sesuka hati, menyakiti hati banyak orang dengan keegoisannya, dan mengatasnamakannya sebagai euphoria kebangkitannya dari comberan yang bau busuk. ia terlalu jumawa dengan keberhasilannya melewati tahap itu seorang diri, sehingga kini menganggap enteng semua masalah yang muncul di depan batang hidungnya. kalaupun itu semua diakumulasi, toh takkan ada yang menandingi dalam dan busuknya comberan yang kemarin, batinnya. tapi semua harus ada batasnya. atau hutan bunga matahari akan hangus terbakar bersama dirinya.

sadar tak sadar, tenggelam di dalam comberan busuk dan terluka secara fisik dan mental selama berbulan-bulan itu memang memberikan dampak yang luar biasa bagi Peri Hutan. berada pada posisi yang membuatnya jadi lebih memiliki daya tahan dan kesabaran dari sebelumnya. dan ia, mau tak mau, suka tidak suka, harus belajar untuk menerima hal tersebut sebagai bagian dari takdirnya.

walaupun karenanya ia juga jadi jauh lebih ekspresif, lebih banyak menyumpah, dan rewel dari sebelumnya. lebih banyak menya-menye dan uring-uringan sepanjang hari, membuat seisi hutan bunga matahari sebal dibuatnya. si Kurcaci Penabuh Genderang yang penyabar saja hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Peri Hutan dengan wajah bosan dan belernya ketika sahabatnya itu berulah. persis seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh ibunya, lalu jongkok di tengah kerumunan orang sambil mewek dan berguling-guling guna mencari perhatian. sungguh menyebalkan!

entah kenapa tak pernah ada yang pas dengan kelakuannya. selalu serba salah. dulu ketika masih berada di dalam Neverland milik si Jagoan Perut Buncit, emosinya sangat lamban bekerja. padahal selama berbulan-bulan berada di sana banyak sekali kejadian yang seharusnya memancing emosinya dan bertindak. kejadian-kejadian yang belum sempat dan malas ia ceritakan karena selalu membuatnya ingin muntah jika mengingatnya. tapi yang ia lakukan hanya diam seribu bahasa, bersikap seolah-olah tak ada kejadian apapun, dan meneruskan hidup di dunia khayalannya, bermain komidi putar seorang diri sambil makan gulali warna-warni sampai bosan dan bolong giginya. sekarang yang ia inginkan hanya tidak lagi dipermainkan dan diinjak-injak oleh siapapun yang hendak memanfaatkan dirinya yang tidak terlalu menuntut seperti peri-peri lain yang selalu punya banyak persyaratan.

kini, ketika yang seharusnya ia lakukan hanya duduk manis di atas ayunan reyotnya sambil terus merajut hati barunya, ia malahan melakukan hal-hal bodoh yang tidak perlu. jumpalitan dan berguling-guling sibuk mencari perhatian.

ah, Peri Hutan juga bingung. mungkin ini akibat pengaruh hormon yang bergejolak di periode tertentu, atau mungkin juga memang semua peri yang ada di dunia perdongengan dan masih hidup perasaannya pasti pernah merasakan hatinya melompat-lompat seperti habis bermain bianglala di pasar malam suatu waktu. entahlah. yang ia tahu sekarang, gara-gara dirinya yang tolol dan dungu, ia menggores dan menambah lubang di hati barunya. dan kali ini ia kesulitan menambal sulamnya lagi karena hati barunya itu menjauh darinya.

Peri Hutan putus asa. semua pertanyaan memberondongnya membabi buta. mengapa ia harus ada di hutan bunga matahari? mengapa ia harus jadi peri yang bodoh? mengapa ia tidak pernah berhasil melakukan sesuatu dengan benar? mengapa ia selalu merusak segalanya? mengapa ia tak berhasil menolong si Jagoan Perut Buncit yang sebenarnya membutuhkan pertolongan? mengapa justru malah dirinya disakiti dan sama sekali tak dihargai oleh Jagoan Perut Buncit yang begitu ia peduli dan sayangi? mengapa si Buncit sama sekali tak pernah merasa bersalah bahkan di saat-saat terakhir Peri Hutan menghabisi nyawanya? mengapa ia harus lahir sebagai seorang Peri Hutan jika ia tak mampu berbuat apapun? mengapa? mengapa?? bukankah semuanya akan jauh lebih baik jika ia mati dan tak ada di sana?

Peri Hutan menangis tersedu-sedu seorang diri, masih terduduk di atas ayunan reyotnya, sambil memeluk kedua lututnya. bahunya berguncang menahan isak tangis yang semakin lama semakin keras. penyesalan dan perasaan tak berdaya datang silih berganti, membuatnya semakin terpuruk di dalam keputusasaan. membuatnya semakin yakin bahwa dirinya tolol, dungu, dan sama sekali tak berguna.

mengapa dulu ia tidak melawan ketika dirinya diinjak-injak? mengapa dulu ia hanya menerima comberan busuk yang seharusnya bukan untuknya dan memilih untuk diam seribu bahasa ketika diperlakukan seperti sampah? mengapa ia tidak memberontak sebelum semuanya menjadi terlalu terlambat? mengapa ia tidak berdaya untuk mempertahankan martabatnya sebagai seorang Peri Hutan, sekuat apapun ia berusaha?

entah kenapa ia tak pernah benar-benar sembuh dari rasa sakitnya. rasa sakit yang bisa tiba-tiba kambuh di malam-malam tak terduga. rasa sakit yang jika dibiarkan dapat membuatnya semakin kehilangan kepercayaan dirinya, harapan-harapannya, dan akhirnya membeku.

samar-samar Peri Hutan menatap keriaan pasar malam di balai-balai hutan bunga matahari dengan berlinangan air mata. Sore, band jazz kesukaannya, sudah naik ke atas panggung dan intro “No Fruits for Today” mengalun merdu perlahan. membikin hatinya semakin pilu dan miris.

memang tidak ada buah-buahan bagi Peri Hutan hari ini. yang ada guillotine. dan tiang pancungan itu seakan memanggil-manggil Peri Hutan untuk segera menaruh lehernya di sana. membebaskannya dari malam-malam tak terduga yang membuat rasa sakitnya kambuh.

ayo Ade Paloh cs., menyanyilah lagi dan lengkapi kegetiran malam ini! karena selalu ingin kupersembahkan sepotong jazz untuk sebuah malam, tapi sayang aku cuma seorang pelamun celaka, pemimpi tanpa harapan, sia-sia meraih kenyataan di ruang hampa udara... (Bab 7. Jazz Tengah Malam – Jazz, Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma)

[*] Bab 6. pelacur (Atas Nama Malam – Kumpulan Cerpen Seno Gumira Ajidarma)

No comments: