Tuesday, March 27, 2007

Jangan Makan Rumput Lagi!

mengakui ketidakmampuan diri terkadang bisa sangat menenangkan. mungkin awalnya memang mengecewakan mengakui pada orang lain bahwa diri kita tak sekuat kelihatannya. terlebih lagi pada diri sendiri, mengatakan bahwa kita tak bisa menjadi seperti yang kita angankan. namun sepertinya ini satu-satunya jalan membuat diri terbebas dari belenggu-belenggu yang menghimpit dan menyesakkan. bisa dikatakan di saat inilah kita sangat dekat dengan penyerahan diri untuk pelepasan yang seutuhnya.

ini bukan saat yang patut dibanggakan bagi Peri Hutan. kalau bisa, mungkin ia memilih lenyap ditelan bumi. biar Kurcaci Penabuh Genderang, dan orang-orang lain yang disayanginya tidak melihatnya terus mengulangi kebodohan yang sama : terkapar di padang ilalang, nyaris muntah-muntah karena kebanyakan menelan rumput yang pahit.

tapi ia sulit meninggalkannya, karena saat-saat seperti ini adalah saat yang paling hidup buat Peri Hutan. momen di mana ia bersentuhan dengan jiwanya dan merasa sangat damai. mungkin manusia memang butuh merasakan kepedihan untuk dapat mengecap kebahagiaan. dan berada di ambang kematian untuk menghargai kehidupan.

lagu Farewell/ Goodbye dari band M83 yang terus mengalun tak henti bagai kaset rusak melalui radio kecilnya masih setia menemani Peri Hutan yang tersungkur mencium tanah. tak kuasa untuk sekadar duduk manis menyender di batang pohon apel yang ada di belakangnya, apalagi untuk pulang dan berbaring di rumah pohonnya. Peri Hutan merasa begitu tolol. berulang kali kabur dari hutan bunga matahari, merepotkan banyak orang, dan bolak-balik makan rumput padahal ia sudah tahu rasanya pahit dan bisa saja mati kalau terlalu banyak memakannya.

semoga saja kali ini Peri Hutan kapok. ia harus menyadari suatu hal yang sangat penting, bahwa tak selamanya ia punya kesempatan untuk kembali menjadi nasi, ketika semua sudah melebur menjadi bubur.

kiss on the mouth/ bliss of a touch/ hand in a hand/ killing the fiend/ i'll write my love on more than a thousand weeping willows/ a walk on your voice/ so far, so close/ a whispering child/ so cold, so mild/ all the colors mixed up in falls of rainbows/ tears on your neck/ holding you near/ sparkling shells/ three comet tails/ hoping for some magic to make your heart beat next to mine/ shiny island/ blue underground/ my everyday/ is fading away/ i'm flying through the wind/ and whistling some strange melody/ hang on to me/ getting out of my corpse/ please don't leave me/ watching you from the clouds/ melancholy/ you'll join me soon my love/ feeling frozen/ i'll warm you everynight/ falling asleep/ i'll travel in your dreams
[M83 -- Farewell/ Goodbye]

Sunday, March 18, 2007

Suatu Malam di Pesta Dusta

There is one thing I know,
it goes like this
It's that when I'm down and out it's you I miss” – Sondre Lerche (You Know So Well)

dan jika sudah seperti itu maka keramaian hanya akan menjadi kesepian. serta hingar bingar tersulap jadi sunyi senyap.

rasanya baru beberapa jam yang lalu ia diajak oleh Peri Bibir Bengkak (eh, apa Bibir Merah? namanya saja ia sudah lupa) ke pesta yang diadakan di rumahnya. Peri Hutan hanya kebetulan lewat. dan karena kebetulan juga si Peri Bibir –entah Bengkak atau Merah- ini adalah teman lama si Peri Topi Lebar, maka ia disuruh bergabung.

pestanya meriah. dekorasinya mewah, lengkap dengan makanan yang melimpah dan orang-orang berpakaian serba ‘wah’. menyenangkan sekali berada di sini. penuh dengan orang-orang yang tertawa dan menyapa ramah.

tapi itu hanya beberapa menit pertama. selanjutnya terasa seperti neraka. Peri Hutan memang tak terlalu menikmati pesta yang ramai dan penuh dengan orang-orang yang tak dikenalnya. membuat sesak napas dan ketakutan, persis seperti semut di tengah kawanan gajah. ia merasa sangat kecil, tak terlihat, dan sewaktu-waktu bisa terinjak. dan kali ini perasaannya jauh lebih parah daripada seekor semut yang terkepung di kandang gajah.

untungnya ada tukang gulali. ia jongkok saja di sebelah tukang gulali sambil mengemut gulali berbentuk kuda-kudaan, bunga tulip, dot bayi, dan peluit-peluitan sampai eneg dan giginya ngilu-ngilu. tapi tak apalah. jarang-jarang ia makan gulali yang ada bentuknya. biasanya ia hanya menemukan gulali yang berbentuk kapas di pasar malam.

“Hei, Peri Hutan!!!”, tiba-tiba ada yang menepuk punggungnya dari belakang. keras juga, Peri Hutan nyaris keselek gulali berbentuk peluit yang sedang diemutnya.

“Uhuuuk, uhuuk… Siapa sih? Eh, Peri Kue Bulan???”, Peri Hutan terheran-heran melihat Peri Kue Bulan, yang wajahnya seperti kue bulan. bundar dan manis.

“Hehehe, halo Peri Hutan! Apa kabar?”, tanya Peri Kue Bulan dengan ramah. menyenangkan sekali bertemu dengan orang yang dikenalnya di pesta itu. walaupun Peri Hutan belum terlalu lama mengenalnya; Peri Kue Bulan merupakan penghuni baru di hutan bunga matahari; tapi setidaknya ia tahu senyuman tadi tulus dan bukan sekadar basa-basi.

Peri Hutan tak menjawab. sebagai gantinya ia hanya memberikan Peri Kue Bulan senyuman termanis yang pernah diberikan kepada orang-orang yang disukainya. lagipula siapapun tahu pertanyaan “apa kabar?” biasanya adalah pertanyaan retoris. tak perlu ditanyakan, karena biasanya dijawab dengan baik. persis seperti kita menanyakan, “hari ini cuacanya cerah ya?”, karena pasti akan dijawab “iya”. tapi terkadang kita perlu pertanyaan retoris, untuk membuka percakapan dengan mulus.

“Kok kau ada di sini, Peri Kue Bulan?”, tanya Peri Hutan.

“Oh, aku hanya menemani saudaraku… Kebetulan aku sedang main-main ke rumahnya, lalu diajak ke pesta ini.”, jawab Peri Kue Bulan. “Kau masih dalam perjalananmu melanglang buana, Peri Hutan?”, tanyanya balik.

“Ehm, ini sedang dalam perjalanan pulang…”, jawab Peri Hutan sambil membersihkan tenggorokannya dari lendir yang mengganggu.

“Baguslah. Sepi sekali hutan bunga matahari tanpa dirimu, Peri Hutan.”, kata Peri Kue Bulan membuat hati Peri Hutan terasa ringan. terkadang ia suka mendengar cerita atau kata-kata menyenangkan walaupun itu bohong.

“Benar. Aku tidak bohong, kok!”, sergah Peri Kue Bulan. “Kurcaci Penabuh Genderang sekarang jarang sekali menabuh genderangnya. Serpina Sipirili juga uring-uringan karena kangen padamu. Si Peri Topi Lebar dan Peri Tukang Nyengir juga tak sering lagi main bersama seperti biasa. Mereka sekarang sibuk dengan urusan masing-masing. Lalu si Beruang Madu Muka Datar juga baru-baru ini datang berkunjung ke rumahmu. Ia sedih ketika tahu kau pergi entah ke mana dan tak tentu kapan kembali lagi.”, Peri Kue Bulan menjelaskan panjang lebar, seolah bisa membaca pikiran Peri Hutan. Peri Hutan jadi salah tingkah dan tak enak sendiri.

“Eh, oh… Begitu yah?”, Peri Hutan menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

“Oh iya, apa kabar hati baru-mu?”

DEG!

pertanyaan Peri Kue Bulan tadi membuat jantung Peri Hutan serasa berhenti berdetak. ini lebih parah daripada tersedak bola bekel.

“Ngg, kudengar sekarang dia sedang bersama Peri Rambut Pelangi...”, jawab Peri Hutan. hati barunya itu memang sahabat lama si Peri Kue Bulan. mereka berteman baik sejak Peri Kue Bulan belum pindah ke hutan bunga matahari.

“Hahaha, dasar gebleg! Dia itu benar-benar seperti benang kusut! Dia selalu butuh orang lain untuk mengurai kekusutannya.”, kata Peri Kue Bulan yang sudah sangat memaklumi sifat kawan lamanya itu.

Peri Hutan mengangguk-angguk tanda setuju dengan semangat dan mata membelalak. senang ada seseorang yang bisa menemukan ungkapan yang tepat, yang selama ini ia cari.

“Tapi sekusut-kusut benangnya, aku yakin, suatu saat dia akan menjadi kemeja pesta terbaik. Karena benang miliknya adalah benang sutera. Dasar memang beruntung, selalu saja ada orang yang mau bersusah payah merajutnya menjadi kemeja pesta itu. Padahal mereka sadar betapa kusut benang yang dimilikinya.”, lanjut Peri Kue Bulan sambil tersenyum manis. entah mengapa, apa yang barusan diucapkan oleh Peri Kue Bulan terdengar seperti promosi sabun cuci piring “beli 2, gratis 1 piring cantik”. tapi Peri Hutan tahu Peri Kue Bulan tidak melakukannya dengan sengaja.

kepercayaan Peri Hutan terhadap mimpi-mimpinya dan banyak hal lain sudah nyaris habis sebenarnya. tapi kali ini ia masih mau percaya. dan perkataan Peri Kue Bulan tadi membuatnya sadar, ia terlalu takut untuk mengakui banyak hal yang diketahui atau dirasakannya, bahkan kepada dirinya sendiri.

ia jadi malu pada hati barunya yang selalu jujur dan tak takut pada risiko. hati barunya memang takut pada banyak hal. namun tak pernah takut untuk mencoba dan gagal. tak seperti dirinya, pengecut yang payah; yang justru berusaha memanipulasi perasaan takutnya dengan kebijaksanaan dan sikap hati-hati akan kenyataan yang biasanya terjadi.

tapi keadaan sudah kacau tak terkendali. dan Peri Hutan bagaikan puzzle yang berserakan. orang-orang yang masih ingin melihat gambar utuh yang ada pada dirinya perlu usaha ekstra keras untuk menyusun kepingannya kembali.

“Iya… Semoga saja ia menemukan orang yang tepat, yang dapat menguraikan benang kusut itu dan merajutnya jadi sebuah kemeja pesta terbaik yang pernah ada.”, kata Peri Hutan kepada Peri Kue Bulan setelah lama termenung.

setiap orang pasti memilih yang terbaik bagi dirinya. hal itu takkan ada habisnya, karena barang yang baru selalu saja menarik hati kita dan memiliki banyak kelebihan dibandingkan yang lama. namun yang sekarang menjadi masalah adalah bukan bagaimana kita menyempurnakan hidup kita dengan terus memilih yang terbaik, tapi bagaimana menerima dan memaafkan kekurangan-kekurangan dari pilihan yang telah kita buat di dalam hidup.

Do you have the slightest idea
Why the world is bright with you here?
Stay a while and wait and see
If things go right we're meant to be” – Sondre Lerche (Modern Nature)

Friday, March 16, 2007

Things You Call Fate

This is why I'm here. Not to go to the supermarket. Not to sign your autograph. I'm here to sing these songs.” (Thom Yorke)

pernyataan tersebut dilontarkan oleh vokalis Radiohead, Thom Yorke, dalam wawancara dengan Jon Wiederhorn untuk MTV Europe beberapa waktu yang lalu. pria pemalu yang penuh dengan pemikiran politis dan terkesan sarkas dalam hampir setiap pernyataannya ketika diwawancara, terlebih ketika disinggung mengenai kehidupan pribadinya ini boleh jadi sedikit dari yang telah menemukan tujuan hidup dan takdirnya; maksud dari keberadaannya di dunia yang fana ini.


Peri Hutan belajar banyak selama di perjalanan. ia memang belum mampu berdamai dengan masa lalunya.

sesungguhnya ada tiga hal utama yang selalu mengganggu di dalam hidup kita. membuat kita cemas atau was-was. ketiga hal tersebut adalah hati, ketakutan, dan takdir.

“Hati memang sebuah teka-teki yang abadi. Terkadang kuat, terkadang lemah.”

“Ketakutan adalah sebuah teka-teki yang dilematis. Langit mendung kita takut hujan, langit cerah kita takut panas.”

“Takdir… Takdir adalah sebuah teka-teki yang membingungkan. Siapa sangka bahwa takdir bersurat. Di perang Baratayudha, Arjuna akan ditakdirkan melawan Adipatikarna, kakaknya sendiri… dan Kunti harus rela kehilangan salah satu anaknya.” – Mbak Wid (Biola Tak Berdawai, 2003)

bagi Mbak Wid, seorang dokter di penampungan bayi-bayi cacat yang diperankan oleh Jajang C. Noer, kehidupan memang penuh dengan teka-teki. untuk itu ia merasa memerlukan tarot dalam menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang hidup. menurutnya, kartu-kartu itu membuatnya tetap waras karena setiap hari harus berhadapan dengan bayi-bayi yang mati.

tidak ada yang mau hidup sendiri. sunyi di dalam kesepian. namun bagaimana jika takdir membawa kita kepada kesendirian itu? bagaimana jika takdir menginginkan hal-hal yang berkebalikan dengan apa yang kita inginkan? sekeras apapun manusia berusaha, akankah semuanya membawa hasil jika sesuatu telah digariskan?

Peri Hutan menghanyutkan ranselnya ke dalam sungai, biar tak ada beban lagi yang harus digendongnya. kini ia hanya punya topi jaringjaring bodoh dan kamera poket bersamanya. juga benang sulam merah jambu kepunyaan mendiang neneknya yang tak ikut ia hanyutkan ke dalam sungai. mungkin suatu saat ia akan membutuhkan ransel kecil baru. mungkin juga tidak. tapi yang pasti, terlalu banyak makan rumput yang pahit di pinggir sungai dan sendirian bukanlah perpaduan yang disarankan. walaupun bisa jadi pilihan terbaik di saat-saat seperti ini.

kini luka lama telah terobati, dan Peri Hutan siap menyongsong perubahan di dalam hidupnya. ia tidak terburu-buru. siapapun bisa datang dan pergi. yang tetap bersamanya tentu saja akan menjadi orang-orang terpilih. dan kalaupun tak ada, seharusnya tak jadi masalah. ia harus mempersiapkan diri, jika takdir yang memintanya.


I find it hard, hard to let go
And you are entitled to know,
you have brought nothing else but bliss,
a great deal of frustration, a voluntary occupation
driving me insane and off the wall
And we were free to choose each other
But now it seems like something other
So have you placed me where I stand?

We turned caring like a mother, afraid to lose each other
It got us this far
Now problems are:
I have no bags to pack, no suitcase waiting in the hall

You have no make-up, no stockings in my drawer
Oh, how did we forget? How could we forget?
It's easy to learn if you never regret
When you live in paranoia and you know she's got you, oh yeah
You can't leave until you know the truth
So for months you're going nowhere
until you seize the day and place yourself behind the steering wheel

Or you could end like you don't want to, the opposite of what you planned to
You can watch the ships when they're abroad
Become a joke when people see you, cause it's enough to please you
You got this far, step out of the car
I have no bags to pack, no suitcase waiting in the hall
You have no make-up, no stockings in my drawer
Oh, how did we forget? How could we forget?
It's easy to learn if you never regret
We'll never learn in the future, this is it, seemingly I am sure
I know we haven't been together now
It wasn't meant to be this way so we'll give it days and days
and we'll try to make it easy now

Once I believed we could approach this,
now I have faith placed in the things you call fate

In the things you call fate
In the things you call fate…” – Sondre Lerche (Things You Call Fate)

Sunday, March 11, 2007

Tunggu Abang di Pengkolan, Sayang!

Somewhere out there in between
the moon and the sea
I'll be waiting for you, my dear,
so wait for me...” [*]

tidak ada pekerjaan yang lebih membosankan daripada menunggu. Peri Hutan nyaris mati jongkok dibuatnya. ditemani kumbang-kumbang musim panas, ia menghitung jumlah Bajaj, Kopaja, Metromini, bemo, bus, dan taksi yang lewat di depan batang hidungnya.

ada satu hal yang hampir pasti dilakukan oleh siapapun : mencari kepastian. tidur rasanya takkan nyenyak sampai mendapat jaminan bahwa besok dapat kenaikan gaji atau pangkat. makan jadi tak enak ketika belum tentu orang yang kita sukai juga menyukai kita. lalu supaya tidur nyenyak dan makan enak mending pilih pekerjaan yang sudah pasti-pasti saja. juga pilih pasangan hidup yang sudah yakin 100% bakal suka kita juga. urusan perasaan abang belakanganlah! yang penting pan si eneng udah cinte! betuuuulll???

betul. hal itu sangat manusiawi dan terjadi pada siapapun. mungkin Thom Yorke hanya meracau saja saat menulis lagu “True Love Waits”. menebarkan ajaran sesat, dan sial buat Peri Hutan yang sampai sekarang masih mengimaninya. mungkin memang tidak ada yang tunggu-menunggu di dunia ini. siapa cepat dia dapat, bung!

tapi bagaimana ini? Peri Hutan tidak bisa pulang tanpa bus dengan tulisan “Tunggu Abang di Pengkolan, Sayang!” di kaca belakangnya. sejauh penglihatannya, yang lewat hanya angkot dengan tulisan “Restu Ibu”, “Bunda Maria Penyelamatku”, dan “Kutunggu Jandamu”. yang lainnya gambar-gambar perempuan berpose seronok. dan selama ia berjongkok sambil menunggu, sudah lewat sebanyak 351 Bajaj, 673 Kopaja, 566 Metromini, 89 bemo, 478 bus, dan 297 taksi.

Peri Hutan sudah muak menghitung! maka ia berdiri dan membetulkan letak topi jaring-jaring bodohnya, sambil memakai ranselnya kembali, bersiap-siap melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. bisa benar-benar mati jongkok ia dibuatnya, jika terus menunggu si bus “Tunggu Abang di Pengkolan, Sayang!”. setidaknya ia melakukan sesuatu. tidak hanya menunggu, duduk diam terbengang-bengong bagai sapi ompong.

mungkin di dalam perjalanannya tiba-tiba ia menemukan bus yang sedari tadi ditunggu-tunggunya. atau mungkin juga ada bus lain yang ternyata dapat mengantarkannya ke rumah yang ingin ia tuju. atau bisa saja memang sudah takdirnya tak menemukan jalan pulang ke rumah yang ia idam-idamkan; tersesat seumur hidup di dalam perjalanan panjang tak berujung, singgah dari satu kota ke kota yang lain. seumur hidup jadi tamu. pendatang. orang asing.

You brighten my life like a polysterene hat
but it melts in the sun like a life without love
and i’ve waited for you
So I’ll keep holding on
without you... – Silverchair (Without You)


[*] Wait For Me – Sean Lennon (Friendly Fire)

Thursday, March 08, 2007

Keluarkan Benang Sulammu Peri Hutan, Ayo Merajut Lagi!


A sudden rush of expectation
as I realise it's
YOU.
Like a river in a droughtful season.
How cool you didn't call.
Initial hint of disappointment.

The mirror of my smile
that isn't there, that doesn't follow
a very causal 'hi'.
Why did you come at all,
if it wasn't for me?
Another blow of resignation
when realise I do.
Now in your hands
the book you borrowed.
The whole way we first met
comes together in my head,
when the picture's clear you've left
– Erlend Oye (Sudden Rush)

sudah cukup. Peri Hutan mau pulang. seperti kata Paulo Coelho dalam The Zahir, “Ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit”, inilah saat yang tepat bagi Peri Hutan untuk merajut kembali seperti sedia kala. lagipula tas ranselnya hampir kosong. hanya benang sulam warna merah jambu milik mendiang neneknya yang masih tertinggal.


lagi-lagi separuh hatinya yang tersisa menuntun langkahnya kembali ke hutan bunga matahari, ke tempat orang-orang yang dicintainya. sekeras apapun usahanya untuk menjauh dari sana, untuk kesekian kalinya pula ia kembali ke sana.


mungkin Peri Hutan memang terlalu takut untuk merajut lagi. padahal ia ingin sekali merajut dengan cinta yang ia miliki, seperti kata Madame Lovètti. namun bagaimana kalau ternyata, tanpa disadari ia melakukannya supaya dicap hebat? dianggap penolong atau pahlawan kebajikan?


semoga saja tidak. ia sudah tak sabar mengadakan pesta kebun dengan Peri Topi Lebar. menambal celana kesayangan si Peri Tukang Nyengir yang sobek, supaya bisa jumpalitan lagi di trampolin barunya. juga genderang buluknya Kurcaci Penabuh Genderang. ia akan merasa sangat bahagia jika sahabat-sahabatnya juga bahagia.


tak apalah jika ia tak dapat lagi menghabiskan sorenya duduk-duduk di padang ilalang sambil merajut hati barunya. seperti kata pepatah, hidup bagaikan sebuah roda yang berputar; kadang di atas, kadang di bawah; semua yang ada di dunia ini juga ada masanya…


Thursday, March 01, 2007

Ditimpuk Surat Bertumpuk-tumpuk

“Lutung Lemes Rambut Kribo sudah merantau ke lain hutan. Liliput Cadel sekarang punya hobi baru; ia lagi asyik dengan terapi memanjangkan lidahnya supaya tidak cadel lagi. Tupai Monyong Tukang Manyun dan Monyet Berponi Penggerutu dikirim ke asrama oleh kedua orang tuanya karena rapor mereka semester yang lalu merah semua. Kodok Cabul tidak sebrengsek kelihatannya. Ia membantu membetulkan ayunan reyotmu sampai terlihat seperti baru lagi; tanpa minta imbalan apapun! Tante Jamur Pesolek pergi dari hutan bunga matahari karena malu mukanya penuh dengan bentol-bentol merah. Sepertinya ia memakai kosmetik yang salah. Tante Kelinci Mulut Usil jadi gila karena suaminya main gila. Sekarang ia dirawat di rumah sakit jiwa dan tidak bisa lagi menggerakan mulut usilnya. Terakhir, yang paling menyenangkan, si Sigung Muka Dua diusir dari hutan bunga matahari. Warga hutan sudah tidak tahan dengan bau kentutnya yang busuk, meskipun ia masih mencoba untuk terlihat ramah dan bersahabat. Tidak mempan rupanya! Aku dan Serpina Sipirili rindu sekali padamu.

N.b : oh iya, aku juga membuatkanmu ayunan dengan kursi yang empuk dan tenda di atasnya, supaya kau tidak kepanasan kalau mau tidur siang di sana.”

Peri Hutan membaca surat dari si Kurcaci Penabuh Genderang sambil senyam-senyum.

“Peri Hutan, kapan kau pulang? Mari kita buat pesta kebun terkeren yang pernah ada di hutan bunga matahari! Nanti kupinjamkan topi jaring-jaring yang baru kubeli di pasar malam. Topinya sebodoh yang kau punya, tapi lebih lebar. Pasti kau suka.”

pesta kebun? topi jaring-jaring bodoh yang lebar? Peri Topi Lebar memang paling tahu bagaimana cara membuat Peri Hutan melonjak-lonjak kegirangan.

“Hey, Peri Hutan! Kau masih menyimpan benang sulam merah jambu nenekmu kan? Celanaku sobek nih... Celana kesukaanku yang warnanya sama dengan benangmu itu... Kemarin aku terlalu asyik jumpalitan dengan Peri Topi Lebar di trampolin yang kutemukan di gudang. Mmm, sebenarnya itu juga karena aku lupa kalau badanku sedikit melebar akhir-akhir ini. Hehehe... Cepat pulang dong! Jahitkan celanaku... Lalu kita main trampolin bersama. Oke?!!”

Peri Hutan langsung terbayang ekspresi wajah si Peri Tukang Nyengir yang konyol dan bodoh jumpalitan di atas trampolin. ia sangat rindu bermain bersama si Peri Tukang Nyengir. masa-masa di mana ia tak kehilangan sifat kekanakan dalam dirinya. masa-masa di mana ia tak kehilangan kehidupan.

pagi ini jadi terasa cerah walau sebenarnya langit mendung. dan khusus untuk hari ini, takkan ada yang bisa membuatnya dongkol walau kepala benjol tertimpuk surat bertumpuk-tumpuk, yang dikirimkan kawan-kawan lama dari hutan bunga matahari.

They say an end can be a start
Feels like I've been buried yet I'm still alive
It's like a bad day that never ends
I feel the chaos around me
A thing I don't try to deny
I'd better learn to accept that
There are things in my life that I can't control
They say love ain't nothing but a sore
I don't even know what love is
Too many tears have had to fall
Don't you know I'm so tired of it all
I have known terror dizzy spells
Finding out the secrets words won't tell
Whatever it is it can't be named
There's a part of my world that' s fading away
You know I don't want to be clever
To be brilliant or superior
True like ice, true like fire

Now I know that a breeze can blow me away
Now I know there's much more dignity
In defeat than in the brightest victory
I'm losing my balance on the tight rope
Tell me please, tell me please, tell me please...
If I ever feel better
Remind me to spend some good time with you
You can give me your number
When it's all over I'll let you know

Hang on to the good days
I can lean on my friends
They help me going through hard times
But I'm feeding the enemy
I'm in league with the foe
Blame me for what's happening
I can't try, I can't try, I can't try...

No one knows the hard times I went through
If happiness came I miss the call
The stormy days ain't over
I've tried and lost know I think that I pay the cost
Now I've watched all my castles fall
They were made of dust, after all
Someday all this mess will make me laugh
I can't wait, I can't wait, I can't wait...

It's like somebody took my place
I ain't even playing my own game
The rules have changed well I didn't know
There are things in my life I can't control
I feel the chaos around me
A thing I don't try to deny
I'd better learn to accept that
There's a part of my life that will go away
Dark is the night, cold is the ground
In the circular solitude of my heart
As one who strives a hill to climb
I am sure I'll come through I don't know how... – Phoenix (If I Ever Feel Better)