Monday, February 26, 2007

Cagar Hati Madame Lovètti di Sirkus Signor Borgetti

“I don't know what you're looking for
You haven't found it baby, that’s for sure
You rip me off, you spread me all around
in the dust of the deed of time
And this is no case of lust you see
It’s not a matter of you versus me
It’s fine the way you want to be on your own
But in the end it’s always me alone

I only know what I've been working for
another you so I could love you more
I really thought that I could take you there
But my experiment is not getting us anywhere
I had a vision I could turn you right
A stupid mission and a lethal fight
I should have seen it when my hope was new
My heart is black and my body is blue

I'm losing my baby, losing my favourite game
You're losing your mind again
I try but you're still the same
I'm losing my baby
You're losing a saviour and a saint”
[*]


bulan Februari adalah bulan yang sangat panjang dan membosankan. padahal bulan ini merupakan bulan yang memiliki jumlah hari tersingkat sepanjang tahun. entah karena cuaca yang kurang bersahabat atau memang suasana hati Peri Hutan yang tak kunjung membaik semenjak kepergiannya dari hutan bunga matahari.

telah lama Peri Hutan menjadi akrab dengan kekecewaan dan kesendirian. menjaga hatinya sendiri dari banyak orang yang berniat jahat mungkin menjadi langkah akhir yang terbaik untuk menyelamatkan jiwanya. siapa lagi yang akan peduli kepadanya jika bukan dirinya sendiri? lagipula kita tak bisa selalu menyenangkan hati orang lain. walaupun terkadang hal itulah yang diinginkan oleh Peri Hutan tanpa ia sadari.

Peri Hutan sebenarnya senang dan tak keberatan menjadi tumpuan bagi orang lain. tapi bagaimana jika kekuatannya sendiri telah habis dan terkuras? dari mana ia mendapatkannya lagi? mengapa tidak ada orang yang bersedia menjaga dan merawat dirinya? mengapa harus selalu ia yang melakukannya seorang diri?

apakah ia pernah meminta terlalu banyak? rasanya Peri Hutan tidak pernah meminta dan merengek. selama ini sejauh yang ia bisa ingat, tak pernah sekalipun ia meminta orang lain untuk mengerti dirinya dan menjaga hatinya. apakah kali ini ia harus memberi tahu semua orang agar tahu hari ini ia ingin makan gulali pelangi dan main komidi putar? lalu terus merengek sampai akhirnya ada yang membelikannya gulali dan mengantarkan dirinya ke pasar malam.

akankah masih berpengaruh ketika hatinya sendiri ternyata telah terkoyak-koyak tanpa ia sadari? ia sendiri bahkan tidak tahu bagaimana memperbaiki hatinya yang telah hancur, dengan sekian banyak orang yang berharap padanya. sekian banyak orang yang menganggapnya kuat dan memiliki keyakinan bahwa Peri Hutan dapat mengatasi semua rintangan yang menghalangi perjalanannya, yang mengurungkan niatnya untuk bercerita kepada mereka, mengakui dirinya telah hancur dan kini tak tahu lagi ke mana harus melangkah.

ia sudah lelah. sangat lelah. terlalu banyak kepalsuan. terlalu banyak kepura-puraan. terlalu banyak kompromi. tanpa ada yang berusaha mengerti apa yang telah dilaluinya. atau mungkin juga tak ada yang mengerti karena ia tak pernah membiarkan orang lain tahu apa yang dirasakannya? bahkan tak ada teman bicara… Peri Hutan sendiri sudah lupa kapan terakhir kali ia benar-benar berbicara dan bercerita tentang apa yang dirasakannya.

“Ah, ada sirkus Signor Borgetti!”, jerit Peri Hutan kesenangan. Rupa-rupanya sirkus yang terkenal itu sedang mampir di kota yang disinggahi Peri Hutan.

di arena sirkus ada atraksi singa yang menyemburkan bola-bola api, dan di sebelahnya Signor Borgetti yang sedang memegang cemeti. tapi Peri Hutan sedang bosan melihat atraksi binatang. ia sedang ingin berkeliling-keliling saja, melihat keramaian dan stand-stand yang ada.

ada satu stand yang menarik perhatiannya. stand Cagar Hati si Madame Lovètti. dilihat dari bentuknya seperti stand ramal yang biasa ada di pasar malam. tapi Peri Hutan penasaran untuk masuk. ia ingin tahu, tempat apakah itu sebenarnya.

“Silahkan masuk Peri Hutan…”, sambut suara yang ada di dalam, ketika Peri Hutan menyingkap tirai stand tersebut.

“Heh, dari mana kau tahu namaku?”, tanya Peri Hutan keheranan sambil mengerjap-kerjapkan matanya. mencoba melihat wajah si Madame Lovètti yang samar-samar. di dalam stand yang gelap itu hanya ada sebuah lilin yang memberikan cahaya remang-remang di atas meja bundar kecil di hadapan perempuan paruh baya itu.

“Aku sudah menunggu kedatanganmu, Peri Hutan... Hatimu yang kau simpan dalam kotak yang menuntun langkahmu ke sini.”, kata Madame Lovètti sambil tersenyum pada Peri Hutan. matanya berkilat-kilat seakan menyimpan rahasia, membuat Peri Hutan jengah.

“Dari mana kau tahu aku menyimpan sepotong hatiku di dalam kotak?”, tanya Peri Hutan hati-hati. jaman sekarang susah mempercayai orang, apalagi orang asing macam Madame Lovètti.

“Sudah kubilang Peri Hutan, aku telah menunggu lama kedatanganmu, untuk menitipkan sepotong hatimu padaku...”, kata Madame Lovètti yang berpakaian ala gipsi, lagi.

Ah, nenek sok tahu..., batin Peri Hutan sebal.

“Hati-hati kau kalau membatin, Peri Hutan... Aku tahu segalanya tentang dirimu.”, Madame Lovètti mendelik membuat Peri Hutan bergidik.

“Aku bisa lihat, anak muda... Kau bagaikan seutas tali yang nyaris putus. Ah, banyak sekali yah yang bergantung padamu gadis manis?”, tanya Madame Lovètti sambil tersenyum penuh arti. “Lalu kau pergi dari hutan bunga matahari, meninggalkan semua yang bergantung padamu supaya mereka bisa mengurus hidup mereka sendiri, dan berharap hidupmu bertambah baik setelah kau bisa melepaskan diri dari mereka semua.”, kata Madame Lovètti sambil menyatukan kedua tangannya di bawah dagunya. tangannya yang penuh dengan cincin batu warna-warni. “Tapi nyatanya kau salah, gadis manis. Hidupmu malah bertambah sengsara karena kau kesepian...”, lanjut Madame Lovètti setelah menarik napas.

“...”, Peri Hutan sama sekali tidak menjawab. namun mukanya sangat kusut. jidatnya berkerut-kerut. dan hatinya carut marut. ia sama sekali tidak menyangka nenek tua yang menyebalkan dan sok tahu ini bisa tahu persis apa yang ia rasakan. atau mungkin juga ia tebak-tebak buah manggis. namun yang pasti, tebakannya sangat tepat, tak meleset sedikitpun.

“Lalu aku harus apa Madame Lovètti?”, tanya Peri Hutan sambil tersedu-sedu dan menghambur ke kursi di depan meja bundar si Madame. putus asa.

“Peri Hutan, Peri Hutan... Gampang saja... Kau hanya perlu menerima takdirmu. Takdir bahwa kau terlahir dengan anugerah sebagai seorang pemelihara, penjahit hati yang handal.”, Madame Lovètti berkata sambil mengelus kepala Peri Hutan dengan lembut.

“Hu..hu..huuu... Tapi aku sudah capek, Madame. Aku bosan memelihara hati banyak orang, tapi tak ada satupun dari mereka yang peduli pada hatiku yang kisut. Aku ingin sekali-kali egois, biar mereka tahu aku bukan tukang jahit yang sempurna. Benang sulamku bisa putus, jarum jahitku bisa patah, dan jahitanku tak selalu kuat.”, adu Peri Hutan sambil beleleran air mata dan ingus.

Madame Lovètti agak was-was melihat air mata dan ingus Peri Hutan yang beleleran di taplak meja bundarnya. belum lagi saat Peri Hutan memakainya untuk menyeka wajahnya yang sudah kuyup. aduh, taplakku kan mahal...dari sutra asli, batin Madame Lovètti. tapi ia diam saja, tak tega melihat Peri Hutan yang tak berdaya.

“Aku juga sudah bersumpah, tidak mau lagi jadi pahlawan kesiangan bagi buncit-buncit keparat lainnya. Aku tidak mau dimanfaatkan lagi... Banyak sekali orang jahat di luar sana, Madame...”, sambung Peri Hutan sambil masih menangis tersedu-sedu.

“Peri Hutan yang manis, wajar saja kalau kau masih sangat terluka. Tapi ada hal yang harus selalu kau ingat, pengalaman spiritual yang sesungguhnya adalah pengalaman praktis dari cinta. Mungkin saat ini kau merasa bahwa kau menderita karena cinta yang sia-sia. Kau merasa telah memberikan lebih daripada yang kau terima. Kau menderita karena kau memaksakan aturan-aturanmu sendiri. Namun ketahuilah Peri Hutan, cinta tidak mengenal peraturan dan dalam setiap cinta ada benih pertumbuhan diri.1”, jelas Madame Lovètti panjang lebar. “Kau memang sudah terlahir untuk menjadi pemelihara. Di sanalah letak kebahagiaanmu. Jangan kau sangkal takdirmu dan mulailah merajut dengan cinta yang kau miliki, Peri Hutan. Bukan dengan kecurigaan.”, lanjut perempuan paruh baya tersebut dengan bijaksana.

Peri Hutan mencoba menghela napas dan meresapi apa yang dikatakan oleh Madame Lovètti. tapi gagal. hidungnya terlalu mampet penuh ingus mengakibatkan otaknya buntu dan tak bisa berpikir jernih. “Kau bisa membantu menyelamatkan hatiku Madame Lovètti? Karena aku tak dapat menolong diriku sendiri saat ini...”, rengek Peri Hutan.

“Hmmm, sebenarnya ada satu cara. Dan kau memang masuk di tempat yang tepat, Peri Hutan... Kau tahu sebenarnya tempat apa ini?”, tanya Madame Lovètti.

Peri Hutan menggeleng. ia bahkan sudah lupa bahwa tadi ia bertanya-tanya mengenai stand apa ini sebelum memasukinya.

“Ini adalah stand cagar hati. Dan ini adalah maksud dari cagar hati itu.”, jelas Madame Lovètti sambil berdiri dari kursinya dan menyingkap kain berdebu yang menutupi sebuah rak tinggi di sebelah kanannya. botol-botol kaca menyerupai botol selai bertutup gabus tersusun berderetan dengan rapi. di dalamnya terdapat potongan-potongan hati dan di setiap botol kaca tersebut ditempeli dengan label putih yang bertuliskan nama masing-masing pemilik hati yang dititipkan pada Madame Lovètti.

Peri Hutan membelalak kaget. tak pernah ia menyangka ada tempat khusus untuk menyimpan potongan hati banyak orang semacam itu.

“Ini adalah tempat penyimpanan hati orang-orang yang terluka, Peri Hutan... Orang-orang yang sama seperti kau, yang tidak tahu bagaimana caranya menolong diri sendiri. Mereka menitipkan hati mereka yang sudah kisut-kisut ini dalam jangka waktu yang tak terbatas. Dengan harapan hati mereka dapat sembuh kembali seiring berjalannya waktu tanpa gangguan dari siapapun. Kapanpun mereka siap, mereka dapat mengambilnya kembali.”, terang Madame Lovètti pada Peri Hutan yang sejak tadi terbengang-bengong takjub.

“Keterangan selanjutnya ada di kertas ini, Peri Hutan.”, kata Madame Lovètti seraya menyerahkan selembar brosur pada Peri Hutan.

di brosur tersebut tertera harga penitipan selama setahun dan cara pembayarannya. rupa-rupanya Cagar Hati Madame Lovètti punya satu cabang di tiap kota! jadi orang tidak perlu repot menunggu sirkus Signor Borgetti mendatangi kotanya, untuk mengunjungi Cagar Hati Madame Lovètti, baik untuk menitipkan atau menarik kembali hatinya.

Peri Hutan mengamati label nama di tiap botol-botol kaca tersebut. ada JJ si Jerapah Jangkung, Molly si Ikan Mas Sisik Merah, Kurcaci Tukang Cibir, Jagoan Perut Buncit... JAGOAN PERUT BUNCIT???!!!! ia tak menyangka si Buncit Keparat itu juga menitipkan hatinya di sini. jika dibandingkan dengan hati-hati lainnya, hati si buncit yang paling kisut dan mengerut. dikerubungi oleh lalat dan belatung pula.

“Hiiieeeekkkk....!!!!”, jerit Peri Hutan bergidik ngeri. jijik.

“Ah, itu... Hati itu sudah bertahun-tahun ada di situ. Tapi sampai sekarang belum diambil-ambil juga oleh pemiliknya. Lagipula sudah tiga tahun ini ia menunggak pembayaran. Hhh, tak ada kemajuan dan harapan... Keadaan hatinya tak memulih walau sudah dititipkan.”, Madame Lovètti berkata sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengambil botol kaca yang menyimpan hati busuk si Jagoan Perut Buncit sambil membuangnya ke tempat sampah. “Ini bisa terjadi pada siapa saja, Peri Hutan. Makanya kau harus berhati-hati dalam mengambil keputusan.”, lanjut Madame Lovètti.

“Bagaimana? Sudah membuat keputusan?”, tanya Madame Lovètti beberapa menit kemudian, membuyarkan lamunan Peri Hutan.

“Ah, ngg... Anu... Hhh, bagaimana ya?”, Peri Hutan gelagapan.

“Kau tidak perlu menitipkan hatimu kalau kau rasa tidak perlu.”, kata Madame Lovètti sambil menutup kembali botol-botol kaca tersebut dengan kain yang berdebu tadi.

“Aku titipkan hatiku selama setahun saja. Jika sebelumnya hatiku sudah pulih aku pasti akan mengambilnya kembali Madame Lovètti.”, kata Peri Hutan sambil membuka ransel kecilnya dan mengeluarkan kotak yang menyimpan separuh bagian hatinya yang terluka.

“Baiklah. Mau bayar tunai atau kredit?”, tanya Madame Lovètti sambil mengambil kotak yang ada di tangan Peri Hutan.

“Aku bayar separuh dulu.”, jawab Peri Hutan sambil mengeluarkan beberapa untaian mahkota bunganya.

“Ya sudah, nanti kurirku akan mendatangimu untuk mengambil sisanya.”, kata Madame Lovètti sambil menyiapkan botol kaca baru dan menuliskan nama Peri Hutan di label putih kosong.

“Madame Lovètti?”

“Ya, Peri Hutan?”

“Tolong jaga baik-baik separuh hatiku... Aku pasti akan mengambilnya kembali suatu saat...”, kata Peri Hutan dengan wajah cemas.

Madame Lovètti mengangguk sambil tersenyum, berusaha menenangkan Peri Hutan yang sudah siap melanjutkan kembali perjalanannya yang panjang...

[*] My Favourite Game – The Cardigans (Gran Turismo)


1 Paulo Coelho, By The River Piedra I Sat Down and Wept, (Jakarta, 2006).





No comments: