Tuesday, May 01, 2007


Perumpamaan Seekor Burung dan Sangkar dengan Pintu Berkarat



“Seorang pengecut tidak mampu menunjukkan cintanya. Cinta merupakan hak istimewa bagi orang pemberani.” – Mahatma Gandhi



Jatuh cinta mungkin tak jauh berbeda dengan naik ayunan. Awalnya ketika kita takut untuk berayun, rasanya sama sekali tidak mengasyikan. Lalu ketika kita mulai terbiasa dengan ayunannya, kita terpacu untuk berayun lebih kencang lagi untuk merasakan debaran dan desiran angin yang menerpa wajah kita. Setelah itu ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi. Pertama, kita akan merasa takut jatuh karena ayunan yang semakin kencang lalu memutuskan untuk memegang talinya erat-erat. Yang mana akan membuat tangan kita lecet-lecet sekaligus menyakiti si tali tanpa kita sadari. Selanjutnya persis seperti menggenggam pasir; semakin erat genggaman kita, semakin sedikit pasir yang tertinggal di telapak tangan. Kedua, kita bisa saja mengambil risiko untuk mengayun lebih dashyat sampai perut serasa tergelitik, dengan melepaskan kedua tangan kita. Namun seperti kata pepatah yang kita semua pasti sudah mahfum, “tak ada yang gratis di dunia ini”, ada harga mahal yang harus dibayar. Jatuh terlempar dari ayunan adalah harga mati yang tak bisa ditawar. Yang bisa kita lakukan mungkin hanya memperlambatnya. Ketiga, bisa jadi ayunan tersebut tak cocok dengan kita karena tiba-tiba menimbulkan rasa mual. Sehingga akhirnya kita menghentikan laju ayunan sebelum sempat merasakan sensasi apapun.



***



jika kau mendapat kesempatan untuk terlahir kembali ke dunia ini, apa atau siapa yang akan kau pilih?



menjadi pohon dengan akar yang kuat dan kokoh sepertinya menyenangkan. terasa menyatu dengan bumi. atau menjadi air sungai yang mengalir. hidup takkan terasa membosankan karena kita bisa terus berpindah-pindah tempat dan berubah wujud sesuka hati.



tapi bagi Peri Hutan, mungkin tak ada pilihan yang mengalahkan seekor burung di dalam sangkar yang terbuka. pohon bisa jadi kokoh, namun selalu melekat di tempat. sedangkan air sungai terus berkelana, tak pernah tinggal.



dengan menjadi burung di dalam sangkar yang terbuka, Peri Hutan dapat bebas berkelana di siang hari ke manapun ia suka dan pulang untuk tidur di sangkarnya yang nyaman ketika hari sudah malam.



mungkin Peri Hutan tak perlu menunggu sampai ia terlahir kembali. hati barunya telah memberikannya sayap persis seperti yang ia inginkan, membuatnya merasa seperti malaikat betulan. sesosok malaikat autis yang lucu dan menyenangkan buat teman-temannya di hutan bunga matahari.



namun permasalahannya adalah ketika Peri Hutan ingin pulang ke sangkarnya yang nyaman, pintu besinya berkarat dan tak mau terbuka. Peri Hutan bisa saja pergi, terbang kembali untuk mencari sangkar lain yang pintunya terbuka dan bermalam atau menetap. tapi Peri Hutan tidak mau. ia memilih membuka pintu besi yang berkarat dan macet itu. walau semua beranggapan ia peri yang bodoh. dan sayapnya terkoyak oleh tajamnya besi yang berkarat. namun apa gunanya bisa terbang ke manapun ia mau, jika sangkar tempat peristirahatannya tak mau terbuka?




“Once in a house on a hill
A boy got angry
He broke into my heart

For a day and a night
I stayed beside him
Until I had no hope

So I came down the hill
Of course I was hurt
But then I started to think

It shouldn't hurt me to be free
It's what I really need
To pull myself together
But if it's so good being free
Would you mind telling me
Why I don't know what to do with myself?

There's a bar by the dock
Where I found myself
Drinking with this man
He offered me a cigarette
And I accepted
'Cause it's been a very long time
As it burned 'till the end
I thought of the boy
No one could ever forget

It shouldn't hurt me to be free
It's what I really need
To pull myself together
But if it's so good being free
Would you mind telling me
Why I don't know what to do with myself?”



[Emiliana Torrini – To Be Free (Love in The Time of Science)]

No comments: