Tuesday, April 24, 2007

Peri di Balik Jendela





akhir-akhir ini Peri Hutan jauh lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian. terlebih setelah ia jatuh dari ayunan reyotnya, yang melumpuhkan kaki kanan dan membuat kepalanya terkadang diserang rasa sakit dashyat, terutama ketika ia berpikir terlalu keras.

waktu-waktu di mana ia sendirian itu digunakannya untuk duduk di tepi jendela sambil memutar piringan hitamnya. terkadang ia memandangi anak-anak kecil yang asyik bermain bola atau sepeda di depan pekarangannya. yang terkadang membuatnya iri, karena ketidakmampuan fisik yang saat ini dideritanya. kadang muncul ketakutan, bagaimana jika ia benar-benar tak bisa lagi berjalan selama sisa umurnya dan merepotkan seisi hutan bunga matahari? ia takkan bisa lagi ke mana-mana dan terjebak di hutan bunga matahari selamanya! bagaimana ia akan menampakkan wajahnya dengan penuh kebanggaan dan kepala tegak di depan penghuni hutan bunga matahari, jika Peri Hutan yang selama ini mereka kenal ternyata hanyalah seorang peri yang payah dengan mental tempe karena tidak berhasil mengatasi keterbatasan fisiknya?

buru-buru disingkirkannya seluruh pikiran buruk tadi. ia mau sembuh. ia mau bisa berjalan lagi, walaupun setelah itu ia tidak tahu mau berbuat apa. seluruh angan-angan masa depannya telah hancur berkeping-keping, bersamaan dengan kepalanya yang bocor dan kaki kanannya yang remuk setelah terhempas dari ayunan reyotnya beberapa waktu yang lalu.

Peri Hutan masih duduk di tepi jendela. kali ini tak ada anak-anak yang bermain bola atau sepeda, karena di luar hujan turun sangat deras. piringan hitamnya memainkan lagu "Let It Die" dari Feist dan Peri Hutan termangu memandangi butiran air yang menempel di kaca jendelanya. pandangannya buram. entah karena hujan terlalu deras, kacanya yang berembun, atau matanya yang berair.

"Let it die and get out of my mind
We don't see eye to eye
Or hear ear to ear
Don't you wish that we could forget that kiss
And see this for what it is
That we're not in love
The saddest part of a broken heart
Isn't the ending so much as the start
It was hard to tell just how I felt
To not recognize myself
I started to fade away
And after all it won't take long to fall in love
Now I know what I don't want
I learned that with you
The saddest part of a broken heart
Isn't the ending so much as the start
The tragedy starts from the very first spark
Losing your mind for the sake of your heart
The saddest part of a broken heart
Isn't the ending so much as the start…" [*]

Peri Hutan memang tidak tahu apa yang akan dilakukannya beberapa waktu ke depan. tapi ia tahu apa yang tidak diinginkannya; ia tak mau menjadi tua dan mati seorang diri di dalam rumah pohonnya yang nyaman dan hangat. hal itu terlalu menyedihkan jika dibayangkan, sekuat apapun dirinya melakukan banyak hal sendirian selama ini.

mungkin Peri Hutan akan menunggu saja hati barunya pulang ke rumah dengan dua kemungkinan; mengajaknya bermain ayunan kembali dan memandang sepotong senja yang lewat bersama dan Peri Hutan takkan banyak bertanya dari mana saja hati barunya karena hal itu sama sekali tak penting lagi buatnya, yang terpenting hati barunya ada di sebelahnya. atau mendatanginya untuk pamitan. mengucapkan selamat tinggal dan kali ini untuk selamanya. mungkin saat itu akan jadi saat yang paling menyedihkan buat Peri Hutan, seperti kedua kakinya diamputasi sekaligus dan tak ada harapan lagi untuk dapat berjalan di atas kaki yang normal. tapi setidaknya hal itu cukup melegakan. ia bisa mengumpulkan kembali tenaganya selama beberapa tahun untuk memulai kehidupan baru yang sama sekali tak pernah terbayang olehnya saat ini.

mungkin juga Peri Hutan akan melatih kakinya jauh lebih giat daripada Ade Rai pergi ke gym untuk memperbesar otot-ototnya, supaya ia bisa berjalan kembali dengan normal. lalu setelah itu, ia akan mencari hati barunya dan menyelesaikan segalanya. siapa yang tahu, mungkin saja saat ini hati barunya juga terluka dan tak dapat bergerak kemana-mana. lagipula mendiang kakeknya selalu mengajarkannya untuk menyelesaikan segala hal yang dimulainya dengan peribahasa kuno, "datang tampak muka, pulang tampak punggung."

persis seperti nama buku yang merupakan kumpulan surat R.A Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang" dan kenyataan bahwa di hampir setiap sehabis hujan ada pelangi, mungkin keadaan ini memang tidak terlalu buruk untuk diratapi. bisa saja ini adalah hari yang baik bagi Peri Hutan untuk mengecat ulang rumah pohonnya. dan sepertinya ini sudah saatnya untuk keluar rumah dan menggunakan gerobak mini canggih buatan si Asisten Kades Senyum Tiga Jari.

[*] Feist – Let It Die (Let It Die)

1 comment:

nyxxx said...

waa
klo gue memilih utk mengidentifikasi gue akn bilang perihutannya mengamputasi kedua kakinya dan siapsiap berbahagia di esok hari.
btw,gue mau dong let it die nya feist! huhuhu