Thursday, July 13, 2006

Sepucuk Surat dari Alam Baka

di suatu sore yang cerah, berjalan-jalanlah si Kurcaci Penabuh Genderang dengan gagahnya menyusuri sepanjang jalan setapak di hutan bunga matahari. tidak lupa sambil membawa genderang di perutnya dan menenteng-nenteng dua stik drum bagus pemberian Peri Hutan.

stik drum baru dengan ukiran namanya yang terbuat dari kayu ceddar. tidak ada yang memilikinya di seantero hutan bunga matahari kecuali si Kurcaci Penabuh Genderang. tentu saja mahal. Peri Hutan sampai harus menukarnya dengan koleksi seribu untaian mahkota bunganya. makanya Kurcaci Penabuh Genderang bangga sekali dengan stik drum barunya itu.

sampai-sampai ia merasa sayang untuk memakainya bermain musik yang selalu disukai oleh Peri Hutan. tak diragukan lagi, Peri Hutan ngambek. untuk menghiburnya, Kurcaci Penabuh Genderang mau mengunjungi Peri Hutan di rumah pohonnya sore ini dan bermain musik lagi. biasanya sore-sore begini, Peri Hutan pasti sedang bermain-main dengan ayunan tuanya di depan rumah pohonnya dan bersenandung sambil berayun-ayun.

tapi kali ini Kurcaci Penabuh Genderang tidak mendengar suara senandung Peri Hutan. tadinya ia pikir wajar karena peri Hutan sedang ngambek. tapi makin mendekati rumah Peri Hutan, ia makin mencium bau asap yang menyesakkan. tanpa pikir panjang, Kurcaci Penabuh Genderang langsung panik dan menghambur ke rumah Peri Hutan yang tinggal beberapa meter lagi. ia pikir rumah Peri Hutan kebakaran.

tahu-tahu ketika sudah sampai di depan rumah Peri Hutan, ia malah melihat sahabatnya itu sedang asyik ngejogrok di halaman depan rumahnya sambil mengorek-ngorek timbunan sampah yang dibakar. tentu saja Kurcaci Penabuh Genderang keki.

“huh!! kupikir rumahmu kebakaran… lagi ngapain sih? biasanya kau tak pernah membakar sampah…”, tanya Kurcaci Penabuh Genderang keheranan.

“…ini… sedang membakar sepucuk surat dari alam baka…”, jawab Peri Hutan sambil masih mengorek-ngorek timbunan sampah itu supaya apinya merata. tatapan mata Peri Hutan kosong dan sama sekali tidak menggubris kehadiran sahabatnya itu.

tentu saja Kurcaci Penabuh Genderang kebingungan. tidak biasanya sahabatnya berlaku aneh seperti itu.
“memang dari siapa, sih?”, tanyanya lagi.

tidak dijawab.
“dari…”, Kurcaci Penabuh Genderang baru akan menanyakannya lagi ketika tiba-tiba Peri Hutan menjawab,
“dari si Jagoan Perut Buncit!”.
Kurcaci Penabuh Genderang melongo.
“Loh? bukannya kau sudah merobek-robek perutnya dengan stik drum-ku beberapa waktu yang lalu?”.

“yaaahh… tapi kurasa ia punya 9 nyawa. namanya juga jagoan…”, jawab Peri Hutan santai.

“bukan jagoan, tapi sok jagoan!! mau apa lagi sih si sok jagoan sinting itu?”, balas Kurcaci Penabuh Genderang malas-malasan.

“hahaha… mungkin dia ingin mengembalikan stik drum-mu yang sudah berlumuran darah…”, Peri Hutan menjawab sambil menggidikkan bahu dan melengos, lalu membuka pintu rumah pohonnya dan bersiap-siap membuat teh kayu manis dan mengeluarkan toples kue stik keju kering kesukaan Kurcaci Penabuh Genderang, meninggalkan sahabatnya itu yang masih melongo di sebelah timbunan sampah.

“bilang saja padanya aku sama sekali tak tertarik!!”, Kurcaci Penabuh Genderang balas menjawab sambil bergegas masuk ke dalam rumah pohon Peri Hutan, tidak mau kehabisan kue stik keju kering kesukaannya.

meninggalkan sepucuk surat dari alam baka yang pelan-pelan gosong jadi abu.

No comments: